https://lentera.publikasiku.id/index.php
55
PENGALAMAN PASIEN TERHADAP PERAWATAN YANG HARUS
DIJALANI SETELAH MENDAPATKAN TERAPI INTERVENSI KORONER
PERKUTAN (IKP)
Dewi Baririet Baroroh
1*
, Asti Melani Astari
2
, Retty Ratnawati
3
Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya, Indonesia
1,3
Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Brawiyaja, Indonesia
2
1
2
ABSTRAK
Perawatan yang adekuat setelah Intervensi koroner perkutan (pemasangan ring) sangat diperlukan untuk
mencegah resiko terjadinya sumbatan kembali pembuluh darah jantung dan gangguan lainnya akibat
infeksi pada pemasangan ring. Proses perawatan ini akan memberikan persepsi tersendiri bagi diri pasien.
Tujuan Penelitian ini adalah mengeksplorasi pemahaman terhadap dampak terapi dan pemahaman tentang
perawatan setelah terapi dilakukan. Penelitian ini dilakukan dengan pendekatan kualitatif fenomenologi
interpretatif. Ada 7 orang pasien yang terpasang terapi intervensi koroner perkutan yang terlibat sebagai.
Pengambilan data dilakukan dengan wawancara semi terstruktur. Proses analisa data menggunakan
Interpretatif Phenomenologocal Analysis (IPA). Setelah mendapatkan terapi intervensi perkutan, pasien
merasakan perubahan positif pada tubuhnya. Pasien merasa keadaan tubuh semakin baik, tanpa ada
keluhan nyeri, tanpa kesulitan tidur, bebas bernafas dan dapat melakukan semua aktifitas sehari-hari
dengan lebih baik. Pasien merasakan dirinya lebih sehat bugar. Pasien menyadari bahwa setelah terapi ini
butuh memelihara kondisi tubuhnya secara terus menerus. Kesadaran pasien pada perubahan apa yang
terjadi pada tubuhnya dan kemampuan mengenali kebutuhan tubuh terhadap perawatan yang terus
menerus dapat mendorong menuju kualitas hidup pasien menjadi lebih baik.
Kata Kunci: Pengalaman Pasien; Pemasangan Ring; Intervensi Koroner Perkuatan; Perawatan;
percutaneous coronary intervention
ABSTRACT
Adequate care after percutaneous coronary intervention (ring placement) is needed to prevent the risk of
re-occlusion of the artery heart vessels and other disorders due to infection in the ring installation. This
treatment will provide an individual perception for the patient. The research explored the consideration
of therapy's impact and the understanding of treatment after therapy. The research was conducted by
using a qualitative approach to interpretive phenomenology. 7 participants who had percutaneous
coronary intervention therapy have been gathered. Data collection was done through in-depth semi-
structured interviews. The data analysis process uses Interpretative Phenomenological Analysis (IPA).
After receiving percutaneous intervention therapy, the patient feels positive changes in their body. The
patient feels that their body is improved, without any suffering of pain, without difficulty sleeping,
breathing freely and can do all his daily activities better. Patients feel healthier. Patients realize a need
to maintain their body condition continuously after therapy. To sum up, patient awareness of the changes
that occur in their body, and patient ability to recognize the body's need for continuous care can lead to
a excel patient's quality of life.
Keywords: Patient experience; ring placement; percutaneous coronary intervention; treatment
This work is licensed under a Creative Commons Attribution-ShareAlike
4.0 International
PENDAHULUAN
Di tahun 2019, 17,9 juta orang meninggal karena penyakit jantung. Jumlah tersebut
meliputi 32% kematian diseluruh dunia. 85 % penyebab dari kematian tersebut adalah serangan
jantung dan stroke. Lebih dari tiga perempat kematian tersebut terjadi di negara pendapatan
Lentera: Multidisciplinary Studies
Volume 1 Number 2, February, 2023
p- ISSN: 2987-2472 | e-ISSN: xxxx-xxxx
Vol. 1, No. 2, 2023
56
Dewi Baririet Bororoh, Astri Melani Astari, Retty Rahmawati
menengah sampai berpendapatan rendah. (WHO, 2021). Di Indonesia sendiri, hasil riset
Kesehatan dasar tahun 2018, penyakit jantung memiliki prevalensi yang sama di tahun 2013 yaitu
1,5 % dari penyebab kematian tidak menular di Indonesia. Akan tetapi ada temuan baru dimana
1,6% peyakit jantung koroner lebih banyak diderita oleh penduduk di kota daripada di desa
(Kemetrian Kesehatan Republik Indonesia, 2019).
Penyakit jantung koroner akan berakibat kematian fatal apabila tidak segera dilakukan
pertolongan segera. Sindrom Koroner Akut (SKA) adalah sebutan dari fase gawat dari penyakit
jantung koroner (O’Keefe-McCarthy et al., 2014; Torry, Panda, & Ongkowijaya, 2014). Sidrom
koroner akut (SKA) mengakibatkan bagian jantung mengalami kekurangan suplai darah akibat
adanya penyumbatan pembuluh darah arteri koroner (Thompson, 2013; Timmis, 2015). SKA
adalah keadaan gawat darurat dari PJK berupa sekelompok gejala yang mewakili dari 3 jenis
keadaan yaitu angina tidak stabil (ATS), ST-Segment Elevation Myocardial Infarction (STEMI)
dan Non ST-Segment Elevation Myocardial Infarction (NSTEMI) (Davis, 2015; Huo et al., 2015;
Kolh et al., 2014; PERKI, 2015).
Di masa pandemi ini, penyakit jantung koroner juga menjadi penyakit komorbid yang
sangat memerlukan perhatian jika pasien tersebut tererang COVID 19. Angka kematian dan
kesakitan meningkat penderita COVID 19 yang memiliki penyakit jantung (PERKI, 2020). 10,6%
dari 57 kematian COVID Di China menggambarkan kondisi penyakit jantung koroner saat
dilakukan otopsi pada tubuh pasien (Shi S, Qin M, Shen B, et al, 2020). Penelitian lain
menunjukkan pasien yang menderita cidera kardiak dengan penyakit jantung koroner, mengalami
resiko kematian lebih tinggi jika menderita COVID (Guo T, Fan Y, Chen M, et al, 2020).
Intervensi koroner perkutan (Percutaneous Coronary Intervention/PCI) adalah terapi non
bedah yang menjadi terapi utama pilihan untuk segera mengatasi pasien dengan SKA (PERKI,
2015). Terapi dilakukan dengan menggunakan kateter melalui arteri radialis atau arteri femoralis
(Jolly et al., 2011; PERKI, 2015; Romagnoli et al., 2012; Valgimigli et al., 2015). Kateter tersebut
digunakan untuk membuka dan melebarkan pembuluh koroner dengan meniupkan balon secara
bertahap di daerah lesi atau dengan memasangkan stent (ring) ((Jolly et al., 2011; PERKI, 2015;
Romagnoli et al., 2012; Valgimigli et al., 2015). Terapi dilakukan dengan menghilangkan
sumbatan pada pembuluh darah yang mengaliri jantung, sehingga terbentuk revaskularisasi, yaitu
kembalinya aliran darah (Levine et al, 2011).
Terapi intervensi koroner perkutan mampu meningkatkan angka kesembuhan lebih tinggi
dan waktu rawat inap yang lebih cepat dibanding terapi lainnya (Beig et al., 2017; Song et al.,
2016). Penelitian lain melaporkan bahwa pasien memiliki intensitas nyeri dada yang rendah
bahkan cenderung stabil, peningkatan aktifitas fisik dan kualitas hidup yang lebih baik dibanding
terapi lainnya (Kolh et al., 2014; Kureshi, Jones, Buchanan, Abdallah, & Spertus, 2014). Hal yang
perlu diperhatikan adalah resiko terjadinya restenosis dan komplikasi, karena dapat
mengakibatkan penyumbatan kembali arteri koroner dan menjadi faktor resiko dilakukan terapi
IKP berulang (Amsterdam et al., 2014; Jukema, Verschuren, Ahmed, & Quax, 2012; Kolh et al.,
2014; Parasca et al., 2016; Przybysz-Zdunek, Ploch, Pluta, Dada, & Opolski, 2012; Stolker et al.,
2012). Perawatan setelah terapi diperlukan untuk mencegah terjadi kembali sumbatan dan
komplikasi. Kesadaran pasien, kepatuhan gaya hidup yang sehat, kontrol perawatan di pelayanan.
Perawatan tersebut akan melibatkan proses psikologis dan fisik pasien. Kesehatan menjadi hal
yang penting dalam perawatan pasien setelah terapi intervensi koroner perkutan. Tujuan
Penelitian ini adalah mengeksplorasi pemahaman terhadap dampak terapi dan pemahaman
tentang perawatan setelah terapi dilakukan.
METODE PENELITIAN
Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian kualitatif dengan pendekatan
fenomenologi interpretatif. Metode ini digunakan peneliti untuk menggali pengalaman pasien
dalam menjalani perawatan setelah menjalani terapi. Peneliti menggali dan menginterpretasikan
[Pengalaman Pasien Terhadap Perawatan yang Harus Dijalani
Setelah Mendapatkan Terapi Intervensi Koroner Perkutan (IKP)]
Vol. 1, No. 2, 2023
https://lentera.publikasiku.id/index.php
57
pengalaman hidup dari pasien, memasuki kehidupan yang ditinggali oleh pasien dan memahami
proses sosial yang melatarbelakangi keadaan sehat dan sakit yang dialami pasien.
Kerangka kerja yang digunakan dalam melakukan penelitian ini menggunakan
Interpretative Phenomenological Analysis (IPA) Larkin dan Thompson, yaitu sebuah pendekatan
analisa kualitatif mengenai bagaimana seseorang memaknai pengalaman hidupnya (Larkin &
Thompson, 2012). IPA mengandung 2 pokok penting yaitu giving voice (menangkap dan
merefleksikan pernyataan penting dan menjadi perhatian partisipan) dan making sense (membuat
suatu interpretasi dari hasil tersebut) (Larkin, Watts, & Clifton, 2006). Penelitian ini menangkap
pernyataan penting partisipan dan memberikan makna mengenai pengalaman pasien menjalani
perawatan setelah mendapat terapi. Pengalaman tersebut meliputi pemahaman terhadap dampak
dilakukan terapi dan pemahaman tentang perawatan setelah terapi.
Ada 7 partisipan yang digunakan dalam penelitian ini. Semua partisipan tersebut adalah
pasien rawat jalan RSUMM yang berdomisili di Malang raya dan telah melewati minimal 4
minggu setelah mendapatkan terapi. 6 orang berjenis kelamin laki-laki dan 1 orang berjenis
kelamin perempuan. Terdapat 3 orang dengan riwayat Pendidikan sarjana dan pascasarjana,
sedangkan sisanya bervariasi dari lulusan sekolah dasar, sekolah mengengah pertama dan sekolah
menengah atas. 3 dari 7 orang berusia kurang dari 50 tahun, dan yang lain berusia lebih dari 50
tahun. Seluruh partisipan sudah pernah mendapatkan pemasangan ring lebih dari 2 kali dan
pemasangan ring tersbut dilakukan sudah satu tahun lebih.
Penelitian ini dinyatakan lulus uji etik berdasarkan surat keterangan kelaikan etik yang
dikeluarkan oleh Komisi Etik Penelitian Kesehatan Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya
di Malang.
Setelah mendapatkan data dari rumah sakit, peneliti menghubungi satu persatu calon
partisipan untuk menjelaskan penelitian dan meminta kesediaan melalui pesan, panggilan telepon
dan mendatangi rumahnya. Pada calon partisipan yang sudah bersedia, peneliti tetap berhubungan
lewat pesan singkat atau whatsapp untuk membina kedekatan. Selain itu peneliti juga silaturahim
ke rumah partisipan sebelum dan sesudah wawancara dilakukan. Pada hari, jam dan lokasi yang
sudah disepakati, peneliti melakukan wawancara dengan terlebih dahulu menceritakan tentang
proses wawancara dan perekaman yang akan dilakukan.
Data penelitian diambil menggunakan proses indepth interview tentang pengalamannya
tentang aktivitas pasien dalam kehidupan sehari-hari dan respon emosionalnya setelah menjalani
terapi IKP. Proses wawancara ini mengacu pada pedoman/naskah wawancara. Proses wawancara
ini dilakukan perekaman dengan sebelumnya meminta kesediaan partisipan untuk direkam.
Peneliti membangun kesadaran penuh selama proses wawancara dengan tetap focus pada kalimat
yang disampaikan partisipan dan menyadari setiap perubahan tahap wawancara, juga
mempertimbangkan keadaan sekitar dalam mempengaruhi respon partisipan. Peneliti
memperhatikan bilamana beberapa pertanyaan pada panduan wawancara belum terjawab, untuk
ditanyakan kembali pada partisipan. Peneliti juga mengaris bawahi beberapa kalimat yang
disampaikan partisipan yang membutuhkan jawaban lebih lanjut.
Wawancara dengan partisipan pertama dilakukan setelah selesai senam jantung, di halaman
parkir RS UMM. Partisipan kedua sampai ke tujuh dilakukan wawancara di rumah masing-
masing sesuai kesepakatan yang sudah dilakukan peneliti dan partisipan. Pada saat wawancara,
partisipan ditemai oleh keluarga, baik istri/suami atau anak. Lama wawancara penelitian pada
partisipan rata-rata 63 menit. Rekaman hasil wawancara kemudian dipindah pada hardisk, yang
sudah diberi nama dan tanggal. Rekaman tersebut kemudian dibuat dalam bentuk transkrip
wawancara, lalu di analisis menggunakan langkah-langkah Interpretatif Phenomenologocal
Analysis (IPA) (Larkin & Thompson, 2012).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian kualitatif dengan pendekatan
fenomenologi interpretatif. Metode ini digunakan peneliti untuk menggali pengalaman pasien
Vol. 1, No. 2, 2023
58
Dewi Baririet Bororoh, Astri Melani Astari, Retty Rahmawati
dalam menjalani perawatan setelah menjalani terapi. Peneliti menggali dan menginterpretasikan
pengalaman hidup dari pasien, memasuki kehidupan yang ditinggali oleh pasien dan memahami
proses sosial yang melatarbelakangi keadaan sehat dan sakit yang dialami pasien.
Kerangka kerja yang digunakan dalam melakukan penelitian ini menggunakan
Interpretative Phenomenological Analysis (IPA) Larkin dan Thompson, yaitu sebuah pendekatan
analisa kualitatif mengenai bagaimana seseorang memaknai pengalaman hidupnya (Larkin &
Thompson, 2012). IPA mengandung 2 pokok penting yaitu giving voice (menangkap dan
merefleksikan pernyataan penting dan menjadi perhatian partisipan) dan making sense (membuat
suatu interpretasi dari hasil tersebut) (Larkin, Watts, & Clifton, 2006). Penelitian ini menangkap
pernyataan penting partisipan dan memberikan makna mengenai pengalaman pasien menjalani
perawatan setelah mendapat terapi. Pengalaman tersebut meliputi pemahaman terhadap dampak
dilakukan terapi dan pemahaman tentang perawatan setelah terapi.
Ada 7 partisipan yang digunakan dalam penelitian ini. Semua partisipan tersebut adalah
pasien rawat jalan RSUMM yang berdomisili di Malang raya dan telah melewati minimal 4
minggu setelah mendapatkan terapi. 6 orang berjenis kelamin laki-laki dan 1 orang berjenis
kelamin perempuan. Terdapat 3 orang dengan riwayat Pendidikan sarjana dan pascasarjana,
sedangkan sisanya bervariasi dari lulusan sekolah dasar, sekolah mengengah pertama dan sekolah
menengah atas. 3 dari 7 orang berusia kurang dari 50 tahun, dan yang lain berusia lebih dari 50
tahun. Seluruh partisipan sudah pernah mendapatkan pemasangan ring lebih dari 2 kali dan
pemasangan ring tersbut dilakukan sudah satu tahun lebih.
Penelitian ini dinyatakan lulus uji etik berdasarkan surat keterangan kelaikan etik yang
dikeluarkan oleh Komisi Etik Penelitian Kesehatan Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya
di Malang.
Setelah mendapatkan data dari rumah sakit, peneliti menghubungi satu persatu calon
partisipan untuk menjelaskan penelitian dan meminta kesediaan melalui pesan, panggilan telepon
dan mendatangi rumahnya. Pada calon partisipan yang sudah bersedia, peneliti tetap berhubungan
lewat pesan singkat atau whatsapp untuk membina kedekatan. Selain itu peneliti juga silaturahim
ke rumah partisipan sebelum dan sesudah wawancara dilakukan. Pada hari, jam dan lokasi yang
sudah disepakati, peneliti melakukan wawancara dengan terlebih dahulu menceritakan tentang
proses wawancara dan perekaman yang akan dilakukan.
Data penelitian diambil menggunakan proses indepth interview tentang pengalamannya
tentang aktivitas pasien dalam kehidupan sehari-hari dan respon emosionalnya setelah menjalani
terapi IKP. Proses wawancara ini mengacu pada pedoman/naskah wawancara. Proses wawancara
ini dilakukan perekaman dengan sebelumnya meminta kesediaan partisipan untuk direkam.
Peneliti membangun kesadaran penuh selama proses wawancara dengan tetap focus pada kalimat
yang disampaikan partisipan dan menyadari setiap perubahan tahap wawancara, juga
mempertimbangkan keadaan sekitar dalam mempengaruhi respon partisipan. Peneliti
memperhatikan bilamana beberapa pertanyaan pada panduan wawancara belum terjawab, untuk
ditanyakan kembali pada partisipan. Peneliti juga mengaris bawahi beberapa kalimat yang
disampaikan partisipan yang membutuhkan jawaban lebih lanjut.
Wawancara dengan partisipan pertama dilakukan setelah selesai senam jantung, di halaman
parkir RS UMM. Partisipan kedua sampai ke tujuh dilakukan wawancara di rumah masing-
masing sesuai kesepakatan yang sudah dilakukan peneliti dan partisipan. Pada saat wawancara,
partisipan ditemai oleh keluarga, baik istri/suami atau anak. Lama wawancara penelitian pada
partisipan rata-rata 63 menit. Rekaman hasil wawancara kemudian dipindah pada hardisk, yang
sudah diberi nama dan tanggal. Rekaman tersebut kemudian dibuat dalam bentuk transkrip
wawancara, lalu di analisis menggunakan langkah-langkah Interpretatif Phenomenologocal
Analysis (IPA) (Larkin & Thompson, 2012).
[Pengalaman Pasien Terhadap Perawatan yang Harus Dijalani
Setelah Mendapatkan Terapi Intervensi Koroner Perkutan (IKP)]
Vol. 1, No. 2, 2023
https://lentera.publikasiku.id/index.php
59
HASIL DAN DISKUSI
Penelitian ini membentuk tema merasakan terapi intervensi koroner perkutan memberikan
perubahan pada tubuhnya, dan menyadari butuh memelihara kondisi tubuhnya secara terus
menerus setelah terapi.
Merasakan terapi intervensi koroner perkutan memberikan perubahan pada tubuhnya.
Tema ini menjelaskan bagaimana pemahaman partisipan tentang dampak terapi. Tema ini
tersusun dari satu subtema yaitu memahami dampak positif terapi.
Subtema ini menceritakan seberapa jauh partisipan memahami dampak positif terapi.
Subtema ini tersusun atas 2 kategori yaitu merasa sehat dan menyadari keadaan semakin
membaik.
Kategori pertama, partisipan merasa dirinya sehat karena hasil pemeriksaan laboratorium
yang dilakukan setelah terapi menunjukkan hasil yang normal. Hal tersebut mengindikasikan
tidak ada sumbatan dalam pembuluh darah, sehingga aliran oksigen dalam jantung bagus. Kata
bagus dalam memiliki arti baik sekali, yang kemudian dimaknai dengan keadaan jantung yang
sehat (Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, 2016). Partisipan merasakan dampak positif
terapi IKP dengan merujuk pada jantungnya yang sehat.
“Ya artinya saya juga sudah kontrol 2x treadmill saya. Yang pertama di A, yang ke 2 di B. Dalam
2x treadmill bagus semuanya saya. Indikasinya suplai oksigen ke jantung bagus dan darah
bagus” (P1)
Kategori berikutnya adalah menyadari keadaan semakin membaik. Partisipan merasa
dirinya semakin membaik setelah dilakukan terapi. Keluhan yang biasanya dirasakan menjadi
hilang
“…tapi sesudah pasang ring agak berkurang, terus lama kelamaan sampek sekarang itu ndak,
hilang, hilang total itu keringet dingin itu” (P6).
“Kalau sekarang, setelah dipasang yang kedua ini mbak, banyak perubahan. Yang kemarin sisa
nyeri di punggung, sekarang hilang. Ini dah kuat aktifitas 1 minggu nggak apa, nggak berhenti,
nggak libur, udah kuat” (P5).
Kata kunci hilang artinya tidak ada lagi (Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa,
2016). Sedangkan total artinya menyeluruh (Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa,
2016). Hilang total memberikan makna sudah tidak dirasakan lagi keluhan saat sebelum
dilakukan IKP. Pada kalimat P6 dapat disimpulkan, setelah IKP keringat dingin yang muncul
semakin berkurang dan akhirnya tidak muncul sama sekali.
Kata kunci berikutnya adalah perubahan artinya keadaan yang berubah (Badan
Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, 2016). P5 mengatakan hal ini karena setelah dilakukan
terapi IKP nyeri punggung tidak lagi dirasakan dan merasa lebih kuat beraktifitas.
Kategori keadaan semakin membaik ini tersusun dari banyak pernyataan penting yang
disampaikan oleh P2, P4, P5, P6, P7. Penyataan mereka menyampaikan adanya perubahan lebih
baik ditandai dengan hilangnya keluhan seperti masuk angin, keringat dingin, kesulitan tidur,
kesulitan bernafas, kesulitan beraktifitas karena nyeri dada, nyeri punggung, dan kelemahan.
Keluhan yang dirasakan menjadi berkurang sampai hilang sama sekali.
“Ndak, jadi sudahsudah anu, sudah apa enak an gitu” (P2)
“Alhamdulillah yo, nafasnya sudah enak, berjalan pun sudah normal sepertinya begitu selama
dipasang itu ga ada keluhan” (P7).
“Sekarang itu ga pernah merasakan, biasane kan sulit tidur” (P7).
“Kalau saya lebih baik ya, lebih enak gerak, lebih bisa gerak dengan mobil lah, karena lebih
enak” (P4).
Tema pertama ini menceritakan pemahaman pasien tentang dampak terapi IKP. Partisipan
mengungkapkan terapi IKP membawa kesembuhan sehingga pasien melaporkan merasa sehat,
pemeriksaannya sehat dan ada perubahan kondisi fisik. Partisipan mengatakan keluhan
sebelumnya mereda dan lama-kelamaan hilang. Partisipan menyatakan keluhan seperti masuk
Vol. 1, No. 2, 2023
60
Dewi Baririet Bororoh, Astri Melani Astari, Retty Rahmawati
angin, keringat dingin, kesulitan tidur, kesulitan bernafas, kesulitan beraktifitas karena nyeri dada,
nyeri punggung, dan kelemahan. Keluhan yang timbul ini sejalan dengan penelitian sebelumnya
yang mengungkapkan setelah terapi IKP bisanya masih merasakan kelemahan, sesak nafas dan
mengalami nyeri dada kembali (Johnman, Mackay, Oldroyd, & Pell, 2013; Kahkonen, Saaranen,
Lamidi, Miettinen, & Kankkunen, 2017; Shan, Saxena, & Mcmahon, 2014). Penelitian lainnya
juga menunjukkan pada pasien yang mendapatkan terapi IKP, 8% sampai 10% mengalami nyeri
angina kembali dalam jangka 1 tahun setelah dirawat dari rumah sakit (Zimarino, Ruggieri, & De
Caterina, 2010).
Keluhan ini menghilang sedikit demi sedikit. Hal ini sejalan dengan Hakhsani, et al (2014),
bahwasannya partisipan merasakan, keluhan yang ada menghilang dan energi tubuh semakin
bertambah. Pasien menjadi merasakan kesulitan bernafas berkurang baik saat istirahat maupun
saat melakukan kegiatan sehari-hari, nyeri jantung (baik berupa nyeri dada maupun nyeri
punggung) berkurang intensitasnya, kelemahan pasien berkurang dan pasien merasa memiliki
energi lebih banyak (Ayton et al., 2018). Pada penelitian lainnya, ada pasien yang belum
merasakan dampak positif terapi IKP, menyatakan dirinya merasa sedih dan tidak siap saat dokter
mengatakan dirinya harus menjalani terapi IKP (Felicity, José, Jim, Stacey, & Claire, 2008).
Perubahan yang dirasakan oleh pasien setelah menjalani terapi IKP tergantung dari jenis
SKA yang dialaminya dan IKP yang di dapatkan dalam keadaan gawat darurat atau elektif (Loh
et al., 2014). Pada pasien STEMI, terapi IKP dirasakan tidak banyak memberikan perubahan
kondisi tubuh dalam waktu cepat bila dibandingkan dengan jenis SKA lainnya. Keadaan ini
semakin diperparah bila yang terjadi adalah IKP primer, yaitu IKP yang dilakukan dalam rentang
120 menit setelah gejala dirasakan oleh pasien (PERKI, 2015b). Hal ini disebabkan pada STEMI,
arteri koroner mengalami kebuntuan lebih dari separuh sehingga fungsi jantung tidak mudah
kembali seperti semula. Fungsi jantung akan kembali dalam beberapa waktu tergantung dari
tingkat kebuntuan dan berapa banyak pembuluh arteri yang mengalami. Oleh karena itu pada
beberapa partisipan masih mengalami nyeri dada dan gejala lainnya setelah IKP dilakukan.
Selain itu prosedur IKP tidak dapat dilakukan dalam satu waktu bila banyak pembuluh
darah yang mengalami kebuntuan dan dibutuhkan IKP. Hal ini dikarenakan IKP yang bertahap
(pembuluh darah bergantian) memberikan efek revaskularisasi yang lebih baik daripada IKP
dilakukan pada semua pembuluh darah saat itu juga (Bravo et al., 2017).
Menyadari butuh memelihara kondisi tubuhnya secara terus menerus setelah terapi.
Tema ini menjelaskan pemahaman partisipan tentang perawatan yang dilakukan setelah
terapi IKP. Tema ini terbentuk dari 3 subtema dan 4 kategori.
Subtema pertama, memahami kondisinya butuh pemeriksaan terus menerus. Subtema ini
terbentuk dari dua kategori yaitu merasa butuh pemeriksaan berkala, dan merasa perlu mengontrol
kondisi fisiknya. Sub tema ini menjelaskan kesadaran pasien bahwa kondisinya butuh perawatan
terus menerus dan bekelanjutan.
Kategori pertama menggambarkan kebutuhan partisipan pada pemeriksaan berkala.
Kontrol itu rutin, sekarang sudah 1 bulan sekali kan, dulu 1 minggu sekali, sekarang sudah
mulai 1 bulan sekali..” (P2,)
Kata kontrol artinya pemeriksaan dan rutin artinya teratur (Badan Pengembangan dan
Pembinaan Bahasa, 2016).
“Ya, butuh perawatan mbak. Butuhnya ya kontrol itu, nek anunya ndak, di katanya dokter NV
memang sudah sembuh gitu, tapi harus kontrol. 1 bulan sekali” (P5).
Kata butuh artinya perlu, sedangkan kata kontrol artinya pemeriksaan (Badan
Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, 2016). Dua penjelasan diatas dapat diambil membentuk
arti bahwa partisipan merasakan dirinya perlu untuk memeriksakan diri secara berkala sesuai yang
dianjurkan oleh dokter.
Kategori kedua yaitu merasa perlu mengontrol keadaan fisiknya. Kategori terbentuk dari
pernyataan sebagai berikut.
[Pengalaman Pasien Terhadap Perawatan yang Harus Dijalani
Setelah Mendapatkan Terapi Intervensi Koroner Perkutan (IKP)]
Vol. 1, No. 2, 2023
https://lentera.publikasiku.id/index.php
61
“Jadi salah satu nasehat dari dr. NV itu dokter ahli jantung ini, jaga kolesterol saya, jaga gula
dalam darah saya, jaga tekanan darah, tensi saya, dan ini saya, saya jaga betul, sehingga saya
beli peralatannya kan. Setiap hari senin, saya cek darah saya, gula darah saya,…”(P1)
Setiap artinya saban, dan cek artinya periksa (Badan Pengembangan dan Pembinaan
Bahasa, 2016). Darah dan gula darah mewakili keadaan fisik seseorang. Ketiga kata kunci
tersebut menggambarkan makna kesadaran untuk memeriksa keadaan fisiknya. Partisipan bahkan
membeli alat untuk pemeriksaan darah dan gula darahnya, serta menjadwalkan setiap hari senin
untuk melakukan pemeriksaan.
Subtema 2, Memahami kondisinya membutuhkan kepatuhan minum obat. Subtema ini
mengandung 1 kategori yaitu mentertibkan diri minum obat. Ada 3 partisipan yaitu P1, P4, P5,
menyatakan hal yang sama tentang kepatuhan ini. Kata terus artinya tidak putus-putus yang
bermakna tidak putus minum obat dan mencerminkan kepatuhan (Badan Pengembangan dan
Pembinaan Bahasa, 2016). Ketiga partisipan tersebut mengungkapkan obat harus diminum
dengan patuh sesuai dosis dan jadwal yang ditentukan agar tidak kambuh. Hal ini dapat dilihat
pada pernyataan berikut ini.
“Terus apa, terutama minum obat mbak, perawatannya di minum obat itu, harus rutin mbak.
Soalnya sudah ngalami yang kemarin 4 hari ga saya minum akhirnya kambuh, wah.. Luar biasa
itu. Sakitnya itu, nah sekarang sudah kapok. Obat itu. Obat itu terus saya minum” (P5).
“malam harinya saya diberi kanesartan sama asorfasastin, ini saya jaga dan coba tertib” (P1).
“ya kemana-mana pokoknya yang penting ada obatnya itu” (P4).
Subtema 3, Memahami perawatannya membutuhkan kepatuhan gaya hidup. Subtema ini
terbentuk dari satu kategori yaitu keyakinan bahwa kepatuhan pada perawatan lanjutan dapat
mempengaruhi kesehatannya.
Kategori ini menceritakan partisipan memiliki keyakinan bahwa kepatuhan terhadap
perawatan dapat mempengaruhi kesehatannya. Partisipan mengungkapkan jika dirinya patuh
untuk selalu menjaga pola makan dan istirahat yang teratur maka penyakitnya tidak kambuh
setelah terapi. Partisipan menyatakan keteraturan dalam menjaga dalam gaya hidup, diantaranya
pola makan, pola istirahat, olahraga, pikiran dan menu makanan membuat dirinya sehat.
Kepatuhan gaya hidup yang terbentuk akan membuat jantungnya menjadi sehat. Hal ini tercermin
pada ungkapan berikut ini
“apa ya, teratur, makannya teratur, kalo waktunya istirahat pokoknya wes istirahat gitu ya”
(P4),
“sekarang tinggal menjaga aja, makan harus dijaga, olahraga kemudian dan istirahat juga
dijaga, paling penting manajemen stress katanya, ya bener itu.” (P4)
Kata kunci menjaga artinya mengawasi sesuatu agar tidak terjadi bahaya (Badan
Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, 2016). Hal ini bermakna bahwa ketaatan terhadap gaya
hidup yang baik mempengaruhi kesehatannya. Pemeriksaan berkala, kepatuhan minum obat dan
kepatuhan gaya hidup yang berkelanjutan dan terus menerus dapat menyusun tema menyadari
perlunya pemeliharaan kesehatan.
Pasien menginginkan hidup normal dan dapat beraktifitas kembali. Pasien mulai menyadari
bahwa setelah terapi IKP membutuhkan perawatan berkelanjutan. Perencanaan perawatan pasien
yang mendapatkan IKP diantaranya: kepatuhan minum obat yang didapatkan, perencanaan jadwal
kontrol, perubahan gaya hidup (meliputi penghentian kebiasaan merokok, perencanaan diet,
pengaturan aktivitas fisik dan seksual), kepatuhan rehabilitasi jantung, kepatuhan terhadap
pencegahan sekunder dan pengkajian ulang pada faktor resiko aritmia dan gagal jantung
(Anderson et al., 2017; Mosleh & Darawad, 2015; O’Gara et al., 2013; Vieira, Nobre, & Silveira,
2016; Yang et al., 2017). Perawatan ini tidak hanya mencakup pada pasien yang mendapat terapi
IKP dengan kondisi normal, tetapi juga pada pasien yang memiliki penyakit penyerta seperti
diabetes, hipertensi, gagal ginjal (De Luca, Tomai, Verdoia, & De Luca, 2010).
Partisipan perlu memastikan dirinya dalam keadaan baik dengan memeriksakan diri ke
dokter secara berkala dan menjalani serangkaian pemeriksaan laboratorium untuk menunjang
Vol. 1, No. 2, 2023
62
Dewi Baririet Bororoh, Astri Melani Astari, Retty Rahmawati
pemeriksaan fisik. Hal ini sejalan dengan penelitian sebelumnya yang mengungkapkan kesadaran
perlunya perawatan mempengaruhi rendahnya kesakitan atau kambuh kembali (Hasankhani et al.,
2014).
Penelitian lainnya yang mendukung menyebutkan pasien yang bertahan hidup setelah
periode serangan jantung akan merasakan kebutuhan terhadap pemeliharaan selanjutnya untuk
mencegah kekambuhan (Dullaghan et al., 2014). Kebutuhan akan pemeliharaan juga diperoleh
dengan kebulatan tekad yang dimiliki pasien untuk menjadikan dirinya sembuh dan beraktifitas
kembali seperti semula (Peterson et al., 2010).
KESIMPULAN
Pemahaman yang ada pada partisipan tentang dampak terapi intervensi kororner perkutan
yaitu merasakan dampak IKP membawa perubahan pada kondisi tubuhnya. Partisipan
menyatakan dirinya merasa sehat dan merasakan perubahan setelah terapi IKP. Pemahaman
pasien yang muncul tentang perawatan setelah terapi intervensi kororner perkutan yaitu
menyadari perlunya pemeliharaan kondisi tubuh berkelanjutan setelah IKP. Partisipan memahami
dirinya butuh pemeriksaan terus menerus, memahami dirinya butuh untuk patuh minum obat, dan
memahami perawatannya membutuhkan kepatuhan terhadap gaya hidup yang dianjurkan.
DAFTAR PUSTAKA
Amsterdam, Ezra A., Wenger, Nanette K., Brindis, Ralph G., Casey, Donald E., Ganiats,
Theodore G., Holmes, David R., Jaffe, Allan S., Jneid, Hani, Kelly, Rosemary F., Kontos,
Michael C., Levine, Glenn N., Liebson, Philip R., Mukherjee, Debabrata, Peterson, Eric D.,
Sabatine, Marc S., Smalling, Richard W., & Zieman, Susan J. (2014). 2014 AHA/ACC
Guideline for the Management of Patients With NonST-Elevation Acute Coronary
Syndromes. Circulation, 130(25), e344 LP-e426.
Anderson, Lindsey, Brown, James P. R., Clark, Alexander M., Dalal, Hasnain, Rossau, Henriette
K., Bridges, Charlene, & Taylor, Rod S. (2017). Patient education in the management of
coronary heart disease. Cochrane Database of Systematic Reviews, (6).
Ayton, Darshini R., Barker, Anna L., Peeters, Geeske M. E. E., Berkovic, Danielle E., Lefkovits,
Jeffrey, Brennan, Angela, Evans, Sue, Zalcberg, John, Reid, Christopher, Stoelwinder,
Johannes (Just), & McNeil, John. (2018). Exploring patient-reported outcomes following
percutaneous coronary intervention: A qualitative study. Health Expectations: An
International Journal of Public Participation in Health Care and Health Policy, 21(2), 457
465.
Beig, Jahangir Rashid, Tramboo, Nisar A., Kumar, Kuldeep, Yaqoob, Irfan, Hafeez, Imran,
Rather, Fayaz A., Shah, Tariq R., & Rather, Hilal A. (2017). Components and determinants
of therapeutic delay in patients with acute ST-elevation myocardial infarction: A tertiary
care hospital-based study. Journal of the Saudi Heart Association, 29(1), 714.
Bravo, Claudio A., Hirji, Sameer A., Bhatt, Deepak L., Kataria, Rachna, Faxon, David P., Ohman,
E. Magnus, Anderson, Kevin L., Sidi, Akil I., Sketch Jr., Michael H., Zarich, Stuart W.,
Osho, Asishana A., Gluud, Christian, Kelbæk, Henning, Engstrøm, Thomas, Høfsten, Dan
Eik, & Brennan, James M. (2017). Complete versus culprit-only revascularisation in ST
elevation myocardial infarction with multi-vessel disease. Cochrane Database of Systematic
Reviews, (5).
[Pengalaman Pasien Terhadap Perawatan yang Harus Dijalani
Setelah Mendapatkan Terapi Intervensi Koroner Perkutan (IKP)]
Vol. 1, No. 2, 2023
https://lentera.publikasiku.id/index.php
63
Davis, Leslie L. (2015). Determining Time of Symptom Onset in Patients with Acute Coronary
Syndromes: Agreement between Medical Record and Interview Data. Dimensions of
Critical Care Nursing: DCCN, 34(4), 222231.
De Luca, Leonardo, Tomai, Fabrizio, Verdoia, Monica, & De Luca, Giuseppe. (2010). Evaluation
and management of special subgroups after primary percutaneous coronary intervention.
American Heart Journal, 160(6, Supplement), S22S27.
Dullaghan, Lisa, Lusk, Lisa, McGeough, Mary, Donnelly, Patrick, Herity, Niall, & Fitzsimons,
Donna. (2014). “I am still a bit unsure how much of a heart attack it really was!” Patients
presenting with non ST elevation myocardial infarction lack understanding about their
illness and have less motivation for secondary prevention. European Journal of
Cardiovascular Nursing: Journal of the Working Group on Cardiovascular Nursing of the
European Society of Cardiology, 13(3), 270276.
Felicity, Astin, José, Closs S., Jim, McLenachan, Stacey, Hunter, & Claire, Priestley. (2008).
Primary angioplasty for heart attack: mismatch between expectations and reality? Journal
of Advanced Nursing, 65(1), 7283.
Hasankhani, Hadi, Gholizadeh, Leila, Mohammadi, Eesa, Zamanzadeh, Vahid, Allahbakhshian,
Atefeh, Ghaffari, Samad, & Allahbakhshian, Maryam. (2014). The lived experiences of
patients post coronary angioplasty: A qualitative study. Journal of Vascular Nursing, 32(4),
144150.
Huo, Yong, Thompson, Peter, Buddhari, Wacin, Ge, Junbo, Harding, Scott, Ramanathan,
Letchuman, Reyes, Eugenio, Santoso, Anwar, Tam, Li Wah, Vijayaraghavan, Govindan, &
Yeh, Hung I. (2015). Challenges and solutions in medically managed ACS in the Asia-
Pacific region: Expert recommendations from the Asia-Pacific ACS Medical Management
Working Group. International Journal of Cardiology, 183(Supplement C), 6375.
Johnman, Cathy, Mackay, Daniel F., Oldroyd, Keith G., & Pell, Jill P. (2013). Quality of life
following percutaneous coronary interventions in octogenarians: a systematic review. Heart,
99(11), 779.
Jolly, Sanjit S., Yusuf, Salim, Cairns, John, Niemelä, Kari, Xavier, Denis, Widimsky, Petr, Budaj,
Andrzej, Niemelä, Matti, Valentin, Vicent, Lewis, Basil S., Avezum, Alvaro, Steg, Philippe
Gabriel, Rao, Sunil V, Gao, Peggy, Afzal, Rizwan, Joyner, Campbell D., Chrolavicius,
Susan, & Mehta, Shamir R. (2011a). Radial versus femoral access for coronary angiography
and intervention in patients with acute coronary syndromes (RIVAL): a randomised, parallel
group, multicentre trial. The Lancet, 377(9775), 14091420.
Jolly, Sanjit S., Yusuf, Salim, Cairns, John, Niemelä, Kari, Xavier, Denis, Widimsky, Petr, Budaj,
Andrzej, Niemelä, Matti, Valentin, Vicent, Lewis, Basil S., Avezum, Alvaro, Steg, Philippe
Gabriel, Rao, Sunil V, Gao, Peggy, Afzal, Rizwan, Joyner, Campbell D., Chrolavicius,
Susan, & Mehta, Shamir R. (2011b). Radial versus femoral access for coronary angiography
and intervention in patients with acute coronary syndromes (RIVAL): a randomised, parallel
group, multicentre trial. The Lancet, 377(9775), 14091420.
Jukema, J. Wouter, Verschuren, Jeffrey J. W., Ahmed, Tarek A. N., & Quax, Paul H. A. (2012).
Restenosis after PCI. Part 1: pathophysiology and risk factors. Nature Reviews. Cardiology,
9(1), 5362.
Vol. 1, No. 2, 2023
64
Dewi Baririet Bororoh, Astri Melani Astari, Retty Rahmawati
Kahkonen, Outi, Saaranen, Terhi, Lamidi, Marja Leena, Miettinen, Heikki, & Kankkunen, Paivi.
(2017). Perceived Health among Patients with Coronary Heart Disease Four Months after a
Percutaneous Coronary Intervention. International Journal of Caring Sciences, 10(1), 54
66.
Kolh, Philippe, Windecker, Stephan, Alfonso, Fernando, Collet, Jean Philippe, Cremer, Jochen,
Falk, Volkmar, Filippatos, Gerasimos, Hamm, Christian, Head, Stuart J., & Juni, Peter.
(2014a). 2014 ESC/EACTS Guidelines on myocardial revascularization: The Task Force on
Myocardial Revascularization of the European Society of Cardiology (ESC) and the
European Association for Cardio-Thoracic Surgery (EACTS) Developed with the special
contribution . European Journal of Cardio-Thoracic Surgery: Official Journal of the
European Association for Cardio-Thoracic Surgery, 46(4), 517592.
Kolh, Philippe, Windecker, Stephan, Alfonso, Fernando, Collet, Jean Philippe, Cremer, Jochen,
Falk, Volkmar, Filippatos, Gerasimos, Hamm, Christian, Head, Stuart J., & Juni, Peter.
(2014b). 2014 ESC/EACTS Guidelines on myocardial revascularization: The Task Force on
Myocardial Revascularization of the European Society of Cardiology (ESC) and the
European Association for Cardio-Thoracic Surgery (EACTS) Developed with the special
contribution . European Journal of Cardio-Thoracic Surgery: Official Journal of the
European Association for Cardio-Thoracic Surgery, 46(4), 517592.
Kureshi, Faraz, Jones, Philip G., Buchanan, Donna M., Abdallah, Mouin S., & Spertus, John A.
(2014). Variation in patients’ perceptions of elective percutaneous coronary intervention in
stable coronary artery disease: cross sectional study. BMJ: British Medical Journal
(Online), 349.
Loh, Joshua P., Pendyala, Lakshmana K., Kitabata, Hironori, Torguson, Rebecca, Omar, Alfazir,
Minha, Sa’ar, Chen, Fang, Satler, Lowell F., Pichard, Augusto D., & Waksman, Ron.
(2014). Comparison of Outcomes After Percutaneous Coronary Intervention Among
Different Coronary Subsets (Stable and Unstable Angina Pectoris and ST-Segment and
Non-ST-Segment Myocardial Infarction). American Journal of Cardiology, 113(11), 1794
1801.
Mosleh, Sultan M., & Darawad, Muhammad. (2015). Patients’ Adherence to Healthy Behavior
in Coronary Heart Disease: Risk Factor Management Among Jordanian Patients. Journal of
Cardiovascular Nursing, 30(6).
O’Gara, Patrick T., Kushner, Frederick G., Ascheim, Deborah D., Casey, Donald E., Chung, Mina
K., de Lemos, James A., Ettinger, Steven M., Fang, James C., Fesmire, Francis M., Franklin,
Barry A., Granger, Christopher B., Krumholz, Harlan M., Linderbaum, Jane A., Morrow,
David A., Newby, L. Kristin, Ornato, Joseph P., Ou, Narith, Radford, Martha J., Tamis-
Holland, Jacqueline E., Tommaso, Carl L., Tracy, Cynthia M., Woo, Y. Joseph, & Zhao,
David X. (2013). 2013 ACCF/AHA Guideline for the Management of ST-Elevation
Myocardial Infarction: A Report of the American College of Cardiology
Foundation/American Heart Association Task Force on Practice Guidelines. Journal of the
American College of Cardiology, 61(4), e78e140.
O’Keefe-McCarthy, Sheila, McGillion, Michael, Nelson, Sioban, Clarke, Sean P., Jones, Jeremy,
Rizza, Sheila, & McFetridge-Durdle, Judith. (2014). Acute Coronary Syndrome Pain and
Anxiety in a Rural Emergency Department: Patient and Nurse Perspectives. CJNR
(Canadian Journal of Nursing Research), 46(2), 80100.
[Pengalaman Pasien Terhadap Perawatan yang Harus Dijalani
Setelah Mendapatkan Terapi Intervensi Koroner Perkutan (IKP)]
Vol. 1, No. 2, 2023
https://lentera.publikasiku.id/index.php
65
Parasca, Catalina A., Head, Stuart J., Milojevic, Milan, Mack, Michael J., Serruys, Patrick W.,
Morice, Marie Claude, Mohr, Friedrich W., Feldman, Ted E., Colombo, Antonio, Dawkins,
Keith D., Holmes, David R., & Kappetein, Pieter A. (2016). Incidence, Characteristics,
Predictors, and Outcomes of Repeat Revascularization After Percutaneous Coronary
Intervention and Coronary Artery Bypass Grafting: The SYNTAX Trial at 5 Years. JACC:
Cardiovascular Interventions, 9(24), 24932507.
PERKI. (2015a). Pedoman tatalaksana sindrom koroner akut. Pedoman Tatalaksan Sindrome
Koroner Akut, 88.
PERKI. (2015b). Pedoman tatalaksana sindrom koroner akut. Pedoman Tatalaksan Sindrome
Koroner Akut, 88.
Peterson, Janey C., Allegrante, John P., Pirraglia, Paul A., Robbins, Laura, Lane, K. Patrick,
Boschert, Kathryn A., & Charlson, Mary E. (2010). Living with heart disease after
angioplasty: A qualitative study of patients who have been successful or unsuccessful in
multiple behavior change. Heart & Lung: The Journal of Acute and Critical Care, 39(2),
105115.
Przybysz-Zdunek, B., Ploch, M., Pluta, W., Dada, M., & Opolski, G. (2012). All-cause
readmission and repeat revascularization after percutaneous coronary intervention.
Cardiology Journal, 19(2), 174.
Romagnoli, Enrico, Biondi-Zoccai, Giuseppe, Sciahbasi, Alessandro, Politi, Luigi, Rigattieri,
Stefano, Pendenza, Gianluca, Summaria, Francesco, Patrizi, Roberto, Borghi, Ambra, Di
Russo, Cristian, Moretti, Claudio, Agostoni, Pierfrancesco, Loschiavo, Paolo, Lioy, Ernesto,
Sheiban, Imad, & Sangiorgi, Giuseppe. (2012a). Radial Versus Femoral Randomized
Investigation in ST-Segment Elevation Acute Coronary Syndrome. Journal of the American
College of Cardiology, 60(24), 24812489.
Romagnoli, Enrico, Biondi-Zoccai, Giuseppe, Sciahbasi, Alessandro, Politi, Luigi, Rigattieri,
Stefano, Pendenza, Gianluca, Summaria, Francesco, Patrizi, Roberto, Borghi, Ambra, Di
Russo, Cristian, Moretti, Claudio, Agostoni, Pierfrancesco, Loschiavo, Paolo, Lioy, Ernesto,
Sheiban, Imad, & Sangiorgi, Giuseppe. (2012b). Radial Versus Femoral Randomized
Investigation in ST-Segment Elevation Acute Coronary Syndrome. Journal of the American
College of Cardiology, 60(24), 24812489.
Shan, Leonard, Saxena, Akshat, & Mcmahon, Ross. (2014). A Systematic Review on the Quality
of Life Benefits after Percutaneous Coronary Intervention in the Elderly. Cardiology,
129(1), 4654.
Song, Jun Xian, Zhu, Li, Lee, Chong You, Ren, Hui, Cao, Cheng Fu, & Chen, Hong. (2016).
Total ischemic time and outcomes for patients with ST-elevation myocardial infarction:
does time of admission make a difference? Journal of Geriatric Cardiology: JGC, 13(8),
658664.
Stolker, Joshua M., Cohen, David J., Kennedy, Kevin F., Pencina, Michael J., Lindsey, Jason B.,
Mauri, Laura, Cutlip, Donald E., & Kleiman, Neal S. (2012). Repeat Revascularization After
Contemporary Percutaneous Coronary Intervention. Circulation: Cardiovascular
Interventions, 5(6), 772 LP 782.
Vol. 1, No. 2, 2023
66
Dewi Baririet Bororoh, Astri Melani Astari, Retty Rahmawati
Thompson, Peter L. (2013). Acute Coronary Syndromes: Much Progress, New Challenges.
Clinical Therapeutics, 35(8), 10541057.
Timmis, Adam. (2015). Acute coronary syndromes. BMJ: British Medical Journal (Online), 351.
Torry, Stivano R. V, Panda, Lucia, & Ongkowijaya, Jeffrey. (2014). Gambaran faktor risiko
penderita sindrom koroner akut. E-CliniC, 2(1).
Valgimigli, Marco, Gagnor, Andrea, Calabró, Paolo, Frigoli, Enrico, Leonardi, Sergio, Zaro,
Tiziana, Rubartelli, Paolo, Briguori, Carlo, Andò, Giuseppe, Repetto, Alessandra,
Limbruno, Ugo, Cortese, Bernardo, Sganzerla, Paolo, Lupi, Alessandro, Galli, Mario,
Colangelo, Salvatore, Ierna, Salvatore, Ausiello, Arturo, Presbitero, Patrizia, Sardella,
Gennaro, Varbella, Ferdinando, Esposito, Giovanni, Santarelli, Andrea, Tresoldi, Simone,
Nazzaro, Marco, Zingarelli, Antonio, de Cesare, Nicoletta, Rigattieri, Stefano, Tosi, Paolo,
Palmieri, Cataldo, Brugaletta, Salvatore, Rao, Sunil V, Heg, Dik, Rothenbühler, Martina,
Vranckx, Pascal, & Jüni, Peter. (2015a). Radial versus femoral access in patients with acute
coronary syndromes undergoing invasive management: a randomised multicentre trial. The
Lancet, 385(9986), 24652476.
Valgimigli, Marco, Gagnor, Andrea, Calabró, Paolo, Frigoli, Enrico, Leonardi, Sergio, Zaro,
Tiziana, Rubartelli, Paolo, Briguori, Carlo, Andò, Giuseppe, Repetto, Alessandra,
Limbruno, Ugo, Cortese, Bernardo, Sganzerla, Paolo, Lupi, Alessandro, Galli, Mario,
Colangelo, Salvatore, Ierna, Salvatore, Ausiello, Arturo, Presbitero, Patrizia, Sardella,
Gennaro, Varbella, Ferdinando, Esposito, Giovanni, Santarelli, Andrea, Tresoldi, Simone,
Nazzaro, Marco, Zingarelli, Antonio, de Cesare, Nicoletta, Rigattieri, Stefano, Tosi, Paolo,
Palmieri, Cataldo, Brugaletta, Salvatore, Rao, Sunil V, Heg, Dik, Rothenbühler, Martina,
Vranckx, Pascal, & Jüni, Peter. (2015b). Radial versus femoral access in patients with acute
coronary syndromes undergoing invasive management: a randomised multicentre trial. The
Lancet, 385(9986), 24652476.
Vieira, Lis Proenca, Nobre, Moacyr Roberto Cuce, & Silveira, Jonas Augusto Cardoso da. (2016).
Effects of nutrition education on recurrent coronary events after percutaneous coronary
intervention: A randomized clinical trial. BMC Nutrition, 2.
Yang, Xinyu, Li, Yanda, Ren, Xiaomeng, Xiong, Xingjiang, Wu, Lijun, Li, Jie, Wang, Jie, Gao,
Yonghong, Shang, Hongcai, & Xing, Yanwei. (2017). Effects of exercise-based cardiac
rehabilitation in patients after percutaneous coronary intervention: A meta-analysis of
randomized controlled trials. Scientific Reports, 7, 44789.
Zimarino, Marco, Ruggieri, Benedetta, & De Caterina, Raffaele. (2010). Patient management and
care after primary percutaneous coronary intervention: reinforcing a continuum of care after
primary percutaneous coronary intervention. The American Heart Journal, 160(6), S42
S47.