Lentera: Multidisciplinary Studies
Volume 1 Number 4, August, 2023
p- ISSN: 2987-2472 | e-ISSN: 2897-7032
https://lentera.publikasiku.id/index.php
208
MANAJEMEN KONFLIK DI PESANTREN MELALUI KULTUR PESANTREN
DAN GAYA KEPEMIMPINAN KYAI
Muhammad Syahrul Ardhana
1
, Ifadah Maziah Baidillah
2*
, Rima Miftah
Nurnabilla
3
, Ani Qotuz Zuhro’ Fitriana
4
Fakultas Dakwah, UIN Khas Jember, Jawa Timur, Indonesia
1,2,3,4
E-mail: ruelardant403@gmail.com
1
, ifadahmaziahbaidillah12@gmail.com
4
,
rimamiftah2@gmail.com
3
, aniqotuz2402@gmail.com
4
ABSTRAK
Konflik yakni hal yang nyata terjadi dan sering ada selagi seseorang masih hidup bersosial bersama
masyarakat. Konflik di pondok pesantren timbul sebagai hasil adanya keragaman latar belakang warga
pesantren, masalah-masalah komunikasi, hubungan pribadi, atau struktur pesantren itu sendiri. Salah
pengertian yang berkenaan dengan kalimat, bahasa yang sulit dimengerti, atau informasi yang mendua
dan tidak lengkap, serta gaya individu pemimpin yang tidak konsisten. Pertarungan kekuasaan dalam
pesantren atau sistem penilaian yang bertentangan, persaingan untuk memperebutkan sumber daya yang
terbatas, atau saling ketergantungan antar kelompok kegiatan kerja guna mencapai tujuan.
Ketidaksesuaian tujuan atau nilai-nilai sosial pribadi dengan perilaku yang diperankan pada jabatan
masing-masing dan perbedaan dalam nilai-nilai atau persepsi. Karakteristik kepribadian khusus seperti
otoriter juga dapat menimbulkan konflik.Penelitian ini melibatkan penelitian kualitatif dengan
menggunakan jenis penelitian kepustakaan (penelitian perpustakaan). Penelitian kepustakaan adalah
penelitian yang dilakukan oleh cara melihat buku, literatur, catatan dan berbagai laporan tentang apa yang
Anda inginkan diselesaikan, dalam hal ini adalah tentang manajemen konflik di pesantren. Tujuan dari
resolusi konflik adalah terselesaikannya konflik secara tuntas dan mewujudkan perdamaian. Model-
model resolusi konflik yang ada di dunia pesantren hakikatnya adalah untuk menyelesaikan konflik.
Dengan landasan teologi Aswaja (Ahlussunah Waljama’ah) lalu diformulasikan dengan kultur yang ada,
kemudian upaya resolusi konflik dilakukan oleh masyarakat pesantren.Dari paparan tersebut dapat
disimpulkan bahwa manajemen konflik merupakan bagian yang harus diperhitungkan secara matang
dalam membuat sebuah komitmen dan keputusan agar konflik tidak menjadi penghambat dalam sebuh
sistem organisasi. Selain itu, manajemen konflik menjadi bagian terpenting dalam menyelesaikan semua
persoalan yang ada dalam lembaga pendidikan Islam.
Kata Kunci: Manajemen Konflik; Kultur Pesantren; Kepemimpinan
ABSTRACT
Conflict is a real thing that happens and often exists while someone is still living socially with the
community. Conflicts in Islamic boarding schools arise as a result of the diversity of backgrounds among
pesantren members, communication problems, personal relationships, or the structure of the pesantren
itself. Misconceptions related to sentences, language that is difficult to understand, or information that is
ambiguous and incomplete, and the individual leader's style is inconsistent. Power struggles within
pesantren or conflicting evaluation systems, competition over limited resources, or interdependence
between groups of work activities in order to achieve goals. Discrepancy between personal social goals
or values and behavior enacted in their respective positions and differences in values or perceptions.
Special personality characteristics such as authoritarianism can also lead to conflict. This research
involves qualitative research using a type of library research (library research). Literature research is
research that is done by looking at books, literature, notes and various reports about what you want to be
done, in this case it is about conflict management in Islamic boarding schools. The goal of conflict
resolution is to resolve the conflict completely and bring about peace. The conflict resolution models that
exist in the world of Islamic boarding schools are essentially to resolve conflicts. With the basis of Aswaja
theology (Ahlussunah Waljama'ah) then formulated with the existing culture, then the conflict resolution
efforts were carried out by the pesantren community. From this explanation it can be concluded that
conflict management is a part that must be carefully considered in making a commitment and decision so
that conflict does not become a hindrance in an organizational system. In addition, conflict management
is the most important part in solving all problems that exist in Islamic educational institutions.
[Manajemen Konflik di Pesantren Melalui Kultur Pesantren dan Gaya
Kepemimpinan Kyai]
Vol. 1, No. 2, 2023
Muhammad Syahrul Anwar, Ifadah Maziah Baidillah, Rima Miftah Nur Nabila, Ani Qotuz
Zuhro’ Fitriana
Keywords: Conflict Management; Pesantren Culture; Leadership
This work is licensed under a Creative Commons Attribution-ShareAlike
4.0 International
PENDAHULUAN
Konflik yakni hal yang nyata terjadi dan sering ada selagi seseorang masih hidup bersosial
bersama masyarakat. Konflik di pondok pesantren timbul sebagai hasil adanya keragaman latar
belakang warga pesantren, masalah-masalah komunikasi, hubungan pribadi, atau struktur
pesantren itu sendiri. Salah pengertian yang berkenaan dengan kalimat, bahasa yang sulit
dimengerti, atau informasi yang mendua dan tidak lengkap, serta gaya individu pemimpin yang
tidak konsisten. Pertarungan kekuasaan dalam pesantren atau sistem penilaian yang bertentangan,
persaingan untuk memperebutkan sumber daya yang terbatas, atau saling ketergantungan antar
kelompok kegiatan kerja guna mencapai tujuan. Ketidaksesuaian tujuan atau nilai-nilai sosial
pribadi dengan perilaku yang diperankan pada jabatan masing-masing dan perbedaan dalam nilai-
nilai atau persepsi. Karakteristik kepribadian khusus seperti otoriter juga dapat menimbulkan
konflik. Kebanyakan masyarakat memandang konflik sebagai sesuatu yang merusak (destruktif).
Memang benar, jika konflik tidak diatasi dengan cara tepat akan merugikan dalam banyak hal.
Kerugian termasuk antara lain berupa kerugian materi, waktu, pikiran, tenaga, dan citra negatif di
masyarakat (Imron & Burhanuddin, 2003). Pesantren sudah berperan sambil dalam mendidik
anak bangsa khususnya Pendidikan Islam mulai masuknya Islam ke Indonesia. Pesantren sudah
teruji dan mampu bertahan hingga sekarang. Pesantren mampu menghadapi berbagai masalah,
konflik dan tantangan dari masa ke masa dengan baik. Pesantren telah membuktikan diri sebagai
lembaga pendidikan yang adaptif dan kokoh. Saat menangani kasus konflik yang ada, perlu
adanya managemen yang cocok yang dilakukan oleh seorang pemimpin. Pemimpin lembaga
pendidikan Islam termasuk pondok pesantren seyogyanya adalah seorang yang terampil dalam
dinamika konflik. Pemimpin yang bersangkutan harus mampu mengenali situasi yang berpotensi
melahirkan konflik. Tulisan ini akan membahas tentang konflik yang terjadi di pesantren sambil
upaya meresolusi konflik dengan gaya kepemiminan kyai dan kultur pesantren.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini melibatkan penelitian kualitatif dengan menggunakan jenis penelitian
kepustakaan (penelitian perpustakaan). Penelitian kepustakaan adalah penelitian yang dilakukan
oleh cara melihat buku, literatur, catatan dan berbagai laporan tentang apa yang Anda inginkan
diselesaikan, dalam hal ini adalah tentang manajemen konflik di pesantren. Teknologi koleksi
informasi, dalam hal ini penulis mengulas buku manajemen konflik, majalah jurnal tentang
manajemen konflik dan jurnal tentang sekolah asrama Islam. Dan menggunakan jenis penelitian
studi kasus. Penelitian studi kasus merupakan penelitian yang di lakukan dengan pemeriksaan
yang mendalam terhadap suatu keadaan atau kejadian yang di sebut kasus dengan menggunakan
cara pengumpulan data, pengamatan, dan analisis informasi.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Ditinjau dari akar katanya, sebagaimana dikutip Sulistyorini dan Muhammad
Fatkhurrahman, K. Karton (Sulistyorini, 2014, p. 296) mengemukakan bahwa istilah konflik
berasal dari kata configere atau conficium yang artinya benturan, tabrakan, ketidaksesuaian,
pertentangan, perkelahian, oposisi, dan interaksi-interaksi yang bersifat antagonis. Miles dalam
Steers menjelaskan bahwa istilah konflik menunjuk pada suatu kondisi dimana dua kelompok
Vol. 1, No. 2, 2023
[Manajemen Konflik di Pesantren Melalui Kultur Pesantren dan Gaya
Kepemimpinan Kyai]
https://lentera.publikasiku.id/index.php
210
tidak mampu mencapai tujuan-tujuan mereka secara simultan. Dalam konteks ini perbedaan
dalam tujuan merupakan penyebab munculnya konflik. Pendapat tersebut sejalan dengan batasan
konflik yang diberikan oleh Dubin sebagaimana juga dikutip oleh Sulistyorini dan Muhammad
Fathurrohman (2014: 296) bahwa konflik berkaitan erat dengan suatu motif, tujuan, keinginan,
atau harapan dari dua individu atau kelompok tidak dapat berjalan secara bersamaan
(incompatible). Adanya ketidaksepakatan tersebut dapat berupa ketidaksetujuan terhadap tujuan
yang ditetapkan atau bisa juga terhadap metode-metode yang digunakan untuk mencapai tujuan.
Afzalur Rahim dalam kutipan oleh Sulistyorini dan Muhammad Fathurrohman
(Sulistyorini, 2014, p. 297) menyatakan bahwa konflik dapat didefinisikan sebagai keadaan
interaktif yang termanifestasikan dalam sikap ketidakcocokan, pertentangan, atau perbedaan
dengan atau antara entitas sosial seperti individu dengan individu, kelompok dengan kelompok,
atau organisasi dengan organisasi. Sedangkan Wahyosumidjo lebih sederhana yaitu segala macam
hubungan antara manusia yang bersifat berlawanan.
Dari beberapa pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa konflik adalah akibat dari
ketidaksepemahaman dan ketidaksesuaian baik antar individu ataupun kelompok dalam hal
memenuhi tujuan yang berakibat pada terganggunya masing-masing individu atau kelompok
tersebut. Pengertian konflik juga dapat dilihat dari beberapa sudut pandang. Pertama, pandangan
tradisional. Pandangan tradisional ini menyatakan bahwa semua konflik itu buruk. Konflik dilihat
sebagai sesuatu yang negatif, merugikan, dan harus dihindari. Kedua, pandangan hubungan
manusia. Pandangan hubungan manusia menyatakan bahwa konflik merupakan peristiwa yang
wajar terjadi dalam semua kelompok dan organisasi. Konflik merupakan sesuatu yang tidak dapat
dihindari karena itu keberadaan konflik harus diterima dan dirasionalisasikan sedemikian rupa
sehingga bermanfaat bagi peningkatan kinerja organisasi. Ketiga, pandangan interaksionis.
Pandangan ini cenderung mendorong terjadinya konflik, atas asumsi bahwa kelompok yang
kooperatif, tenang, damai, dan serasi, cenderung menjadi statis, apatis, tidak aspiratif, dan tidak
inovatif. Oleh karena itu, menurut aliran pemikiran ini, konflik perlu dipertahankan pada tingkat
minimum secara berkelanjutan, sehingga kelompok tersebut tetap bersemangat, kritis-diri (self-
critical), dan kreatif.
Dari tiga sudut pandang di atas, dapat penulis simpulkan bahwa adanya konflik dapat
memunculkan cara pandang positif maupun negatif. Oleh sebab itu, konflik adalah bagian yang
harus diselesaikan dengan baik untuk meminimalisir dampak negatif dari munculnya konflik
tersebut. Lebih lanjut, menurut Stephen. P. Robbins dalam artikel yang ditulis oleh Sulistyorini
dan Muhammad Fathurrohman (Sulistyorini, 2014, p. 302) menjelaskan bahwasanya telah
menelusuri perkembangan tersebut, dengan penekanan pada perbedaan antara pandangan
tradisional tentang konflik dan pandangan baru, yang sering disebut pandangan interaksionis.
Dari pernyataan di atas dapat disimpulkan bahwa konflik dapat berfungsi ataupun
berperan salah (dysfunctional). Secara sederhana hal ini berarti bahwa konflik
mempunyai potensi bagi pengembangan atau pengganggu pelaksanaan kegiatan
organisasi tergantung pada bagaimana konflik tersebut dikelola.
1. Manajemen Konflik
Kata "manajemen" berasal dari bahasa Latin, yang merupakan asal kata Manus artinya
tangan dan agere artinya perbuatan terdiri dari kata kerja managere, yang berarti
"menangani". Administrator diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris sebagai kata kerja untuk
memerintah, dengan kontrol kata benda dan pemimpin orang-orang yang melakukan ini
kegiatan administrasi. Akhirnya, kontrol diterjemahkan ke dalam ucapan Indonesia menjadi
administrasi atau manajemen. Selain itu Manajemen adalah suatu proses perencanaan,
pengorganisasian, dan pengarahan mengelola upaya organisasi di semua bidang untuk
mencapai tujuannya organisasi berjalan secara efektif dan efisien, jadi kontrol mencakup
segala sesuatu yang diatur sesuai pertimbangan dan perhitungan yang cermat (Sofia, 2021).
Sementara itu, konsep “konflik” jika dilihat dari akarnya, yaitu. Kata “konflik berasal
dari kata “to set” atau “conficium” dan berarti “menyesuaikan”. Tumbukan berarti segala
[Manajemen Konflik di Pesantren Melalui Kultur Pesantren dan Gaya
Kepemimpinan Kyai]
Vol. 1, No. 2, 2023
Muhammad Syahrul Anwar, Ifadah Maziah Baidillah, Rima Miftah Nur Nabila, Ani Qotuz
Zuhro’ Fitriana
jenis tumbukan, tumbukan, anomali, Konflik, perjuangan, oposisi dan interaksi Lawan
(Sulistyorini, 2014, p. 296).
Menurut Miles dalam Steers, dia menjelaskan bahwa istilah "konflik" mengacu pada
keadaan yang tidak dapat dicapai oleh dua kelompok tujuan pada waktu yang sama. Dalam
konteks inilah perbedaannya Tujuan adalah penyebab konflik. Pendapat ini setuju juga
dengan batasan konflik yang diberikan oleh Dubin Sulistyorini dan Muhammad
Fathurrohman memimpin konflik berkaitan erat dengan motif, tujuan, keinginan atau
harapan Individu atau kelompok tidak dapat berjalan pada waktu yang sama (tidak
kompatibel).
Dari beberapa pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa konflik adalah akibat dari
tidak sepemahaman dan ketidaksesuaian baik antar individu ataupun kelompok dalam hal
memenuhi tujuan yang berakibat pada terganggunya masing-masing individu atau kelompok
tersebut.
2. Pendekatan Manajemen Konflik
Berdasarkan konflik yang ada, maka konflik dapat diselesaikan dengan berbagai
pendekatan, diantaranya:
1) Integritas; Yaitu pemulihan hubungan melalui pertukaran informasi dan di sana
keinginan untuk memahami perbedaan dan menemukan solusi yang bisa diterapkan
dapat diterima atau diikuti oleh semua pihak. Penyempurnaan pendekatan ini
mendorong tumbuhnya kualitas kreatif yang menonjol dari perspektif yang berbeda.
Namun, Anda harus tahu metode ini memakan waktu cukup lama.
2) Obliging; Membantu menciptakan nilai yang dilihat orang lain ada lebih banyak bakat
dan jangan meremehkannya. Konvergensi dibutuhkan banyak perhatian untuk
membantu, untuk mengikuti bekerja sama dalam penyelesaian konflik. Pendekatan ini
tidak mengurangi perbedaan atau kesenjangan antar kelompok komunikasi karena
jabatan atau status.
3) Dominating; Pendekatan ini menekankan hak untuk menentukan nasib sendiri.
Pendekatan ini untuk menekankan kejelasan keputusan. Konvergensi tidak lagi
membutuhkan negosiasi karena keputusan mungkin itu terjadi karena ada hal
mendesak yang harus mendesak diurus Pendekatan ini sangat berguna jika kurang
pengetahuan atau keahlian dalam masalah yang bertentangan. Kegagalan untuk
menyediakan tenaga kerja terampil saran atau secara khusus mengatakan tentang
masalah ini asal pendekatan dominan
4) Avoiding; Akhiri pendekatan dengan menghindari pendekatan ini dibuat dari konflik
sepele dan Bahkan, ketika disikapi justru membuat konflik semakin akut.
Penghindaran tidak menyelesaikan masalah, tetapi terkadang berhasil melakukan ini
juga karena masalahnya sudah kedaluwarsa dan tidak perlu perhatian serius karena
tidak cara.
5) Comproming; Pendekatan ini digunakan karena setiap konflik diperlukan perhatian
yang cukup. Keduanya tidak dapat ditolak atau dihindari. Oleh karena itu, perlu
dilakukan kompromi atau negosiasi, agar semuanya beres untuk mendapatkan solusi
yang seimbang. Pendekatan ini disebut lebih tepatnya pendekatan, mencari jalan
tengah atau jalan damai. Tengah Pastikan untuk meminimalkan celah atau celah
sehingga konflik yang dihasilkan adalah tugas dan beban bersama Pendekatan ini
sangat baik untuk hubungan sosial di tempat kerja (Syukur, 2011, pp. 6668).
6) Kolaborasi (Collaborating); Kepemimpinan kolaboratif adalah gaya negosiasi solusi
yang sepenuhnya memuaskan pihak-pihak yang berkonflik. Upaya ini melibatkan
saling pengertian tentang konflik atau isu-isu bermasalah mengeksplorasi perbedaan
satu sama lain. Selain itu kreativitas dan inovasi juga digunakan untuk menemukan
alternatif yang dapat diterima bersama berpesta.
Vol. 1, No. 2, 2023
[Manajemen Konflik di Pesantren Melalui Kultur Pesantren dan Gaya
Kepemimpinan Kyai]
https://lentera.publikasiku.id/index.php
212
7) Mengakomodasi (accomodating); Kinerja rendah dalam gaya manajemen konflik dan
kolaborasi tingkat lanjut. Seseorang mengabaikan minat dirinya sendiri dan mencoba
memuaskan kepentingan lawan-lawannya dalam konflik. Berdasarkan beberapa
pendekatan tersebut, penulis dapat menyimpulkan bahwa konflik dapat diselesaikan
dengan berbagai cara sesuai dengan konteks dan kompleksitas konflik. Berdasarkan
pendekatan ini Tentu ada pro dan kontra, selain itu memiliki kemampuan untuk
menyelesaikan konflik seperti kapal agar kualitasnya lebih baik dan bukan sebaliknya.
3. Konflik di Pondok Pesantren
Seperti yang dijelaskan sebelumnya, konflik adalah sesuatu seperti ini selalu hadir
dalam segala aspek kehidupan manusia, termasuk pesantren. menurut Ahmad Hasan Afandi
(Afandi, 2016, p. 1812) mengatakan bahwa sebenarnya konflik di dunia pesantren tidak bisa
dipisahkan dari akarnya atau latar belakang mengapa konflik itu muncul, untuk mengetahui
sampai sejauh mana sifat konflik rahasia dan konflik terbuka. Dari hasil beberapa penelitian
menjelaskan bahwa akar konflik di dunia pesantren terbagi dalam empat tema: Pertama;
perseteruan keluarga, kedua; politik yang merupakan penyebab yang berkuasa dan eskalasi
cukup terlihat, ketiga; perjuangan untuk mempengaruhi orang, itu sangat terkait dengan
keberadaan kyai dan petaninya, dan keempat; feodalisme dengan ciri sistem sosial antara
ulama dan santri. Hal lain konflik utama adalah manajemen karena terkait erat berat sistem
manajemen dan pengembangan.
Konflik di pesantren, seperti yang diungkapkan Ali Mutakin di majalah tersebut
terbagi menjadi dua bagian yaitu konflik internal dan konflik eksternal (Mutakin, 2018, p.
103). Konflik Internal adalah konflik yang muncul di lingkungan pesantren. konflik ini
mengacu pada pihak-pihak yang berkonflik. Ada pemimpin pesantren (kyai, ajengan, master,
administrator dan siswa. Konflik internal seorang pemimpin pesantren adalah konflik ini ada
konflik yang memanifestasikan dirinya di dalam diri pemimpin pesantren (konflik di dalam
individu). Kebingungan di dalam diri pengemudi biasanya terjadi saat seorang pemimpin
harus memiliki salah satu dari beberapa tujuan yang saling bertentangan, atau karena tuntutan
tugas melebihi batas kemampuannya. konflik antara pengasuh, Konflik ini biasa terjadi pada
sebuah keluarga pemimpin pesantren yang dikepalai oleh beberapa kiai Pengasuh, yang
mana kyai tersebut awalnya adalah putra-putri kyai untuk membawa pesantren maju. Konflik
ini termasuk dalam kategori konflik individu (konflik antar individu). Kyai yang memiliki
putra lebih dari satu, kemudian sepeninggalnya, secara otomatis menurut hukum yang
berlaku di banyak pesantren, maka pesantren akan dipegang oleh para putra-putri kyai
tersebut. Kepala pesantren yang bersifat kolektif ini memunculkan pandangan maupun
kepentingan antara pemimpin yang satu dengan lainnya berbeda, sehingga timbullah konflik.
Konflik Internal adalah konflik yang muncul di lingkungan pesantren. konflik ini
mengacu pada pihak-pihak yang berkonflik. Ada pemimpin pesantren (kyai, ajengan, master,
administrator dan siswa. Konflik internal seorang pemimpin pesantren adalah konflik ini ada
konflik yang memanifestasikan dirinya di dalam diri pemimpin pesantren (konflik di dalam
individu). Kebingungan di dalam diri pengemudi biasanya terjadi saat seorang pemimpin
harus memiliki salah satu dari beberapa tujuan yang saling bertentangan, atau karena tuntutan
tugas melebihi batas kemampuannya. konflik antara pengasuh, Konflik ini biasa terjadi pada
sebuah keluarga pemimpin pesantren yang dikepalai oleh beberapa kiai Pengasuh, yang
mana kyai tersebut awalnya adalah putra-putri kyai untuk membawa pesantren maju. Konflik
ini termasuk dalam kategori konflik individu (konflik antar individu). Kyai yang memiliki
putra lebih dari satu, kemudian sepeninggalnya, secara otomatis menurut hukum yang
berlaku di banyak pesantren, maka pesantren akan dipegang oleh para putra-putri kyai
tersebut. Kepala pesantren yang bersifat kolektif ini memunculkan pandangan maupun
kepentingan antara pemimpin yang satu dengan lainnya berbeda, sehingga timbullah konflik.
[Manajemen Konflik di Pesantren Melalui Kultur Pesantren dan Gaya
Kepemimpinan Kyai]
Vol. 1, No. 2, 2023
Muhammad Syahrul Anwar, Ifadah Maziah Baidillah, Rima Miftah Nur Nabila, Ani Qotuz
Zuhro’ Fitriana
4. Manajemen Konflik di Pesanten
Konflik merupakan suatu fenomena yang sering kali tidak bisa dihindari dan
menghambat pencapaian tujuan organisasi. Sumber-sumber organisasi, sumber daya
manusia, sumber daya finansial, sumber daya teknologi digunakan untuk menyelesaikan
suatu konflik bukan untuk meningkatkan produktivitas organisasi (Nasruloh, 2019). Oleh
karena itu, manajemen konflik harus dilakukan secara sistematis untuk mencapai suatu
tujuan. Menurut Khoirul Anwar, tujuan utama manjemen konflik adalah untuk membangun
dan mempertahankan kerja sama yang kooperatif dengan para bawahan, teman sejawat,
atasan dan pihak luar (Anwar, 2018, p. 34). Adapun tujuan manajemen konflik menurut
Wirawan sebagaimana dikutip Bashori dalam Jurnal Idarah (Bashori, 2018, p. 23) yang
berjudul “Manajemen Konflik di Lembaga Pendidikan” yaitu:
1) Mencegah gangguan kepada anggota organisasi untuk memfokuskan diri pada visi, misi
dan tujuan organisasi
2) Memahami orang lain dan menghormati keberagaman
3) Meningkatkan kreativitas
4) Meningkatkan keputusan melalui pertimbangan berdasarkam pemikiran berbagai
informasi dan sudut pandang
5) Memfasilitasi pelaksanaan kegiatan melalui peran serta, pemahaman bersama, dan kerja
sama
6) Menciptakan prosedur dan mekanisme penyelesaian konflik
7) Menimbulkan iklim organisasi konflik dan lingkungan kerja yang tidak menyenangkan:
takut, moral rendah, sikap saling curiga
8) Meningkatkan terjadinya pemogokan mengarah pada sabotase bagi pihak yang kalah
dalam konflik
9) Mengurangi loyalitas dan komitmen organisasi
10) Terganggunya proses produksi dan operasi.
Dari paparan tersebut dapat disimpulkan bahwa manajemen konflik merupakan bagian
yang harus diperhitungkan secara matang dalam membuat sebuah komitmen dan keputusan
agar konflik tidak menjadi penghambat dalam sebuh sistem organisasi. Selain itu,
manajemen konflik menjadi bagian terpenting dalam menyelesaikan semua persoalan yang
ada dalam lembaga pendidikan Islam. Lembaga pendidikan yang memiliki kompleksitas
konflik atau persoalan yang banyak memungkinkan akan bertransformasi menjadi sebuah
lembaga pendidikan yang unggul, jika mampu menyelesaiakan problematika konflik yang
ada. Untuk itu, jelas konflik yang mampu dikelola secara baik akan mampu menjadi stimulus
perubahan ke arah yang lebih baik.
5. Resolusi Konflik di Pesantren
Tujuan dari resolusi konflik menurut Bashori (Bashori, 2017, p. 110) adalah
terselesaikannya konflik secara tuntas dan mewujudkan perdamaian. Model-model resolusi
konflik yang ada di dunia pesantren hakikatnya adalah untuk menyelesaikan konflik. Dengan
landasan teologi Aswaja (Ahlussunah Waljama’ah) lalu diformulasikan dengan kultur yang
ada, kemudian upaya resolusi konflik dilakukan oleh masyarakat pesantren.
Ini sebenarnya mengacu pada nilai normatif agama dalam masyarakat Pesantren tidak
dapat dipisahkan dari wacana dan gerak praktis kehidupan sehari-harinya. Dinamika dan
lanskap masyarakat juga tidak dapat dipisahkan dari teologi keragaman yang mereka
kembangkan. Mengakui referensi naql yang Nash Alquran dan Sunnah Nabilah yang menjadi
rujukan pertama lakon itu resolusi konflik.
Dalil aqli adalah resolusi konflik yang sumber hukumnya berdasarkan pada akal
pikiran (ijtihad) adapun dua hal yang termasuk pendapat ulama dalam sumber hukum adalah
ijma’ dan qiyas setelah dilakukan rujukannya sehingga didapat hasil resolusi konflik yang
tepat untuk dijalankan. Selain empat sumber hukum tadi, terdapat dasar nilai lainnya adalah
fatwa ulama yang mengacu pada pokok tujuan syariat, yaitu lima prinsip Hak Asasi Manusia
Vol. 1, No. 2, 2023
[Manajemen Konflik di Pesantren Melalui Kultur Pesantren dan Gaya
Kepemimpinan Kyai]
https://lentera.publikasiku.id/index.php
214
(HAM) yang harus ditegakkan yang dikenal dengan istilah Ushul al Khamsah (Krisnawati et
al., 2021).
Menurut Rofiq yang dikutip Ali Mutakin, kontribusi Kyai dalam Memenuhi peran
kyai tidak terbatas pada mengajar murid-murid Anda sebagai guru di sekolah (Efendi, 2014;
Mutakin, 2018, p. 110). Kyai memiliki peran sebagai pemimpin masyarakat, penjaga pondok
pesantren dan sekaligus ulama. Dalam tradisi yang berkelanjutan Pesantren masyarakat
pesantren, kyai berperan sebagai tokoh sentral masyarakat, semua kata, Perbuatan dan
perilakunya dijadikan sebagai pilar guru dalam masyarakat. Sebagai seorang ilmuwan kyai
(waratsatu al-anbiya') yang diwariskan oleh para nabi, yaitu. mewariskan semua yang
dipertahankan dalam ilmu para nabi, akhlak yang baik, perbuatan dan keteladanan baik (al-
uswah al-hasanah) Kontribusi kyai menjadi penting ketika dia bisa memenuhi perannya
sesuai dengan standar yang dianut oleh komunitas kiai. Meskipun tidak ada persyaratan
standar untuk kyas dalam resolusi konflik, itu harus tetap mampu menahan standar yang
diikuti sampai sekarang (Fahmi, 2017; Ubaidillah, 2018).
Kyai sebagai Hakim, Seperti yang kita ketahui pesantren, kyai memiliki posisi yang
strategis. Posisi seperti itu tidak dapat dipisahkan struktur sosial di dalamnya. Posisi ini tidak
hanya mempengaruhi hanya pada masyarakat petani, tetapi juga berdampak pada masyarakat
terhadap lingkungan sekitar. Seperti yang ditunjukkan Zamakhsyari Dhohier di koran Ali
Mutakin, latihan beban bisa diibaratkan sebuah kerajaan kecil dengan kyai sebagai sumber
kekuasaan dan otoritas mutlak dalam kehidupan di lingkungan.
Kyai sebagai pemberi fatwa. Keputusan dapat dibuat dalam tim konsiliasi atau
penyerahan kepada kyai yang lebih dihormati dan ketika fatwa dikeluarkan itu harus
dipenuhi oleh tim mediasi dan konflik. Dengan kata lain, kyai disini berperan sebagai uswah
atau menjadi hakim agung, apapun itu keputusan mana yang harus diikuti. Itu benar-benar
masuk akal, Intinya mengingat hakikat tawadhu yaitu kerendahan hati yang tidak mau
menang sendiri yang selalu dimainkan kyai memang pantas seperti itu contoh Tentu mufti
dalam konteks ini berbeda dengan apa yang ada di dalamnya lembaga agama Islam yang
diformalkan dan mengikat secara hukum karena keberadaannya merupakan bagian dari
konstitusi negara. Dalam kehidupan pesantren mufti sebagai pemberi tausiyah memiliki
bobot fatwa yang harus dipatuhi. Karena Karenanya, tausiyah dalam konteks politik juga
sangat rentan terhadap infiltrasi berbagai elemen tertarik pada proses dan hasil akhirnya.
Gaya kepemimpinan otoritatif adalah gaya kepemimpinan yang terlihat hubungan
antara pemimpin dan bawahan sangat berbeda dengan pengaruh kyai sangat kuat dan hampir
tidak ada, jika ada, keterlibatan bawahannya sangat kecil dan tidak signifikan dibandingkan
dengan pengaruh manajemen (kyai). Sementara gaya kepemimpinan paternalistik hubungan
antara pemimpin (kyai) dan bawahan adalah sebuah keluarga, para kyai santri menganggap
anak-anak mereka harus dipupuk sesuai dengan keinginan atau nilai-nilai yang diyakini dan
dianutnya, dan Santri beranggapan bahwa kyai adalah bapak yang harus dipatuhi (Kompri,
2018). Terkait dengan gaya kepemimpinan terfokus pada otoritas karismatik hubungan kyai
dan yang adalah gaya manajemen otoriter-paternalistik, formulaik, laissez-faire dan
hubungan kerja pengurus berdasarkan tiga kata kunci yaitu ikhlas, berkat dan ibadah.
Pesantren dengan gaya manajemen seperti ini sudah melakukannya struktur organisasi yang
tidak jelas dan tidak ada pembagian kerja antar unit dipisahkan secara tajam, setiap manajer
bebas untuk memulai dan bekerja dalam satu unit untuk kemajuan petani asalkan mendapat
restu dari kyai dan tidak bertentangan dengannya sesuai aturan petani.
KESIMPULAN
Dari paparan tersebut dapat disimpulkan bahwa manajemen konflik merupakan bagian
yang harus diperhitungkan secara matang dalam membuat sebuah komitmen dan keputusan agar
konflik tidak menjadi penghambat dalam sebuh sistem organisasi. Selain itu, manajemen konflik
menjadi bagian terpenting dalam menyelesaikan semua persoalan yang ada dalam lembaga
[Manajemen Konflik di Pesantren Melalui Kultur Pesantren dan Gaya
Kepemimpinan Kyai]
Vol. 1, No. 2, 2023
Muhammad Syahrul Anwar, Ifadah Maziah Baidillah, Rima Miftah Nur Nabila, Ani Qotuz
Zuhro’ Fitriana
pendidikan Islam. Kyai memiliki peran sebagai pemimpin masyarakat, penjaga pondok pesantren
dan sekaligus ulama. Dalam tradisi yang berkelanjutan Pesantren masyarakat pesantren, kyai
berperan sebagai tokoh sentral masyarakat, semua kata, Perbuatan dan perilakunya dijadikan
sebagai pilar guru dalam masyarakat. Sebagai seorang ilmuwan kyai yang diwariskan oleh para
nabi, yaitu. mewariskan semua yang dipertahankan dalam ilmu para nabi, akhlak yang baik,
perbuatan dan keteladanan baik Kontribusi kyai menjadi penting ketika dia bisa memenuhi
perannya sesuai dengan standar yang dianut oleh komunitas kiai. Keputusan dapat dibuat dalam
tim konsiliasi atau penyerahan kepada kyai yang lebih dihormati dan ketika fatwa dikeluarkan itu
harus dipenuhi oleh tim mediasi dan konflik. Dengan kata lain, kyai disini berperan sebagai uswah
atau menjadi hakim agung, apapun itu keputusan mana yang harus diikuti. Itu benar-benar masuk
akal, Intinya mengingat hakikat tawadhu yaitu kerendahan hati yang tidak mau menang sendiri
yang selalu dimainkan kyai memang pantas seperti itu contoh Tentu mufti dalam konteks ini
berbeda dengan apa yang ada di dalamnya lembaga agama Islam yang diformalkan dan mengikat
secara hukum karena keberadaannya merupakan bagian dari konstitusi negara. Dalam kehidupan
pesantren mufti sebagai pemberi tausiyah memiliki bobot fatwa yang harus dipatuhi. Karena
Karenanya, tausiyah dalam konteks politik juga sangat rentan terhadap infiltrasi berbagai elemen
tertarik pada proses dan hasil akhirnya.
DAFTAR PUSTAKA
Afandi, H. A. (2016). Masyarakat Pesantren dan Resolusi Konflik. Politik: Jurnal Kajian Politik
Dan Masalah Pembangunan, 12(1), 1080911820.
Anwar, K. (2018). Urgensi Penerapan Manajemen Konflik dalam Organisasi Pendidikan. Al-
Fikri: Jurnal Studi Dan Penelitian Pendidikan Islam, 1(2), 31.
https://doi.org/10.30659/jspi.v1i2.3206
Bashori, B. (2017). Manajemen Konflik di Tengah Dinamika Pondok Pesantren dan Madrasah .
Muslim Heritage, 1(2), 356358.
Bashori, B. (2018). Manajemen Konflik di Lembaga Pendidikan. Idarah Jurnal Pendidikan Dan
Kependidikan, 2(1), 1832.
Efendi, N. (2014). Manajemen Perubahan di Pondok Pesantren Konstruksi Teoritik Dan Praktik
Pengelolaan Perubahan Sebagai Upaya Pewarisan Tradisi Dan Menatap Tantangan Masa
Depan: Vol. Teras.
Fahmi, I. (2017). Manajemen Kepemimpinan Teori dan Aplikasi. Alfabeta.
Imron, A., & Burhanuddin, B. (2003). Manajemen Pendidikan: Analisis Substantif dan
Aplikasinya dalam Institusi Pendidikan. Universitas Negeri Malang.
Kompri. (2018). Manajemen dan Kepemimpinan Pondok Pesantren. Kencana.
Krisnawati, A., Simarmata, N. I. P., Kato, I., Antikasari, T. W., Surya, C. M., Silitonga, H. P.,
Banjarnahor, A. R., Purba, S., Prasetio, A., Sugiarto, M., & Anggusti, M. (2021). Dasar-
dasar Ilmu Manajemen (Vol. 1). Yayasan Kita Menulis.
Mutakin, A. (2018). Resolusi Konflik Melalui Nilai-Nilai Kultur Pesantren. Sangkep: Jurnal
Kajian Sosial Keagamaan, 2(1), 91118.
Vol. 1, No. 2, 2023
[Manajemen Konflik di Pesantren Melalui Kultur Pesantren dan Gaya
Kepemimpinan Kyai]
https://lentera.publikasiku.id/index.php
216
Nasruloh. (2019). Manajemen Pondok Pesantren dalam Membentuk Sikap Kemandirian Santri
(Studi Kasus Di Pondok Pesantren Minhajud Tholabah Kembangan Kecamatan Bukateja
Kabupaten Purbalingga) [Thesis]. Institut Agama Islam Negeri Purwokerto.
Sofia, N. N. (2021). Manajemen Konflik di Pesantren Melalui Kultur Pesantren dan Gaya
Kepemimpinan Kyai. Jurnal Studi Islam Dan Kemuhammadiyahan (JASIKA), 1(1), 116.
https://doi.org/10.18196/jasika.v1i1.1
Sulistyorini, M. F. (2014). Esensi Manajemen Pendidikan Islam Pengelolaan Lembaga untuk
Meningkatkan Kualitas Pendidikan Islam. Teras.
Syukur, F. (2011). Manajemen Pendidikan Berbasis pada Madrasah. PT. Pustaka Rizki Putra.
Ubaidillah, A. S. (2018). Peran Kepemimpinan dalam Manajemen Konflik (Stadi Kasus di
Pondok Pesantren Tanjung Rejo Mangaran Situbondo) [Tesis, Universitas Negeri Maulana
Malik Ibrahim Malang]. http://etheses.uin-malang.ac.id/id/eprint/13680