PENGARUH PARITAS TERHADAP TAMPILAN ESTRUS SAPI BALI YANG DI SINKRONISASI DENGAN� PROSTAGLANDIN F2A

������������������������������������������������������������������������������

Yusuf Sae1, Kirenius Uly2, Thomas Mata Hine3, Wilmientje M. Nalley4

Fakultas Peternakan, Kelautan, dan Perikanan, Universitas Nusa Cendana, Indonesia

Email: [email protected]1, [email protected]2, [email protected]3, [email protected]4

ABSTRAK

Sapi bali termasuk sapi asli Indonesia� sebagai hasil penjinakkan dari banteng liar yang sudah berlangsung cukup lama. Sapi bali di Indonesia berasal dari Pulau Bali yang penyebarannya baru dimulai pada awal abad 1900an. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh paritas terhadap tampilan estrus sapi bali. Materi yang digunakan dalam penelitian ini adalah 21 ekor sapi bali betina� yang dimiliki� peternak di Kelurahan Buraen Kecamatan Amarasi Selatan, kondisi sehat, tidak bunting, dengan kisaran umur 3 sampai 15 tahun dan paritas 1 sampai dengan paritas 6. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode eksperimen lapangan dengan menggunakan desain penelitian rancangan acak lengkap yang terdiri dari P1: Paritas 1-3 dan P2: Paritas 4-6 dengan paritas ternak pada P1 dan P2 adalah 16 dan 15 ekor. Ternak sapi yang tidak bunting disuntikan dengan hormon PGF2a sintetis 2 ml per ekor, yang mengandung bahan aktif Cloprostenol 500 �g. Sapi betina yang telah diberikan PGF2a kemudian diamati berahinya sejak dari hari pertama sampai hari ke enam. Data tentang persentase estrus, durasi estrus, intensitas estrus, dan kecepatan timbulnya gejala estrus dicatat sebagai variabel penelitian yang diukur. Data yang diperoleh di analisis menggunakan Uji T. Hasil analisis menunjukkan bahwa paritas tidak berpengaruh nyata (P>0,05) terhadap tampilan estrus. Kesimpulan dari penelitian ini adalah paritas tidak memiliki pengaruh yang nyata (P>0,05) terhadap tampilan estrus sapi bali setelah dilakukan penyuntikan hormon prostaglandin F2a (PGF2a).

�

Kata kunci: Sapi bali, paritas, tampilan estrus, hormon prostaglandin (PGF2a)

 

�ABSTRACT

Balinese cattle are native to Indonesia as a result of the taming of wild bulls that has been going on for a long time. Balinese cattle in Indonesia originated from the island of Bali, where they were introduced in the early 1900s. This study aims to determine the effect of parity on the appearance of estrous bali cattle. The material used in this study were 21 female Bali cattle owned by breeders in Buraen Village/District, South Amarasi District, healthy condition, not pregnant, with an age range of 3-15 years and parity 1 to parity 6. The method used in this study was a field experiment method using a completely randomized design consisting of two treatments, namely T1: Parity 1-3 and T2: Parity 4-6 and two replications. Cattle that are not pregnant are injected with the synthetic hormone PGF2α 2 ml per head, which contains the active ingredient Cloprostenol 500 �g. The cows that had been given PGF2α were then observed for heat from the first day to the sixth day. Data on the percentage of estrus, duration of estrus, intensity of estrus, and speed of onset of estrous symptoms were recorded as research variables that were measured. The data obtained were analyzed using the T test. The results of the analysis showed that parity had no significant effect (P>0.05) on the appearance of estrus. The conclusion of this study was that parity had no significant effect (P>0.05) on the estrous appearance of bali cattle after injection of the hormone prostaglandin F2a (PGF2a).

�

Keywords: Bali cattle, parity, estrus display, prostaglandin hormone (PGF2α).��

This work is licensed under a Creative Commons Attribution-ShareAlike 4.0 International

 

PENDAHULUAN

Sapi bali termasuk sapi asli Indonesia� sebagai hasil penjinakkan dari banteng liar yang sudah berlangsung cukup lama. Sapi bali di Indonesia berasal dari Pulau Bali yang penyebarannya baru dimulai pada awal abad 1900an. Walaupun demikian dalam waktu hampir seratus tahun pengembangannya di luar bali, sapi-sapi ini telah menunjukkan variasi yang cukup besar dalam produktivitas reproduksinya. Sapi bali juga merupakan sapi kecil dan memiliki berat badan yang hampir mirip dengan beberapa bangsa sapi kecil lainnya di India dan Afrika. Begitupun variasi bobot badan pada berbagai tingkat umur pada sapi bali cukup besar (Talib, 2002). Selain variasi bobot badan pada sapi bali, tingkat keberhasilan inseminasi buatan (IB) pada ternak sapi bali di Pulau Timor masih rendah� yaitu ≤40% (Kune, dkk., 2019). Tingkat keberhasilan IB pada ternak sapi bali di Pulau Timor yang masih rendah� tersebut sangat memprihatinkan untuk dicari jalan keluarnya, salah satu penyebabnya adalah tampilan estrus dari ternak. Tampilan atau tanda-tanda estrus biasanya ditunjukkan oleh induk sapi pada saat estrus (Kune, dkk., 2019). Pengaruh tampilan estrus terhadap keberhasilan IB berhubungan erat dengan kandungan hormon estrogen, kadar estrogen yang tinggi maka tampilan estrus jelas diikuti dengan kualitas folikel sehingga menghasilkan sel telur yang berkualitas� dan baik pula. Sinkronisasi estrus yaitu usaha yang dilakukan untuk menghasilkan ternak yang estrus secara serentak, contohnya dengan menggunakan hormone PGF2α. Sinkronisasi estrus dilakukan dengan tujuan yaitu dapat mempermudah peternak dalam pengamatan estrus dan pelaksanaan IB yang optimal sehingga memungkinkan tingginya angka kebuntingan.

Ada beberapa faktor yang mempengaruhi kebehasilan sinkronisasi estrus salah satunya yaitu reproduksi ternak atau kemampuan reproduksi pada sapi dengan lama kehidupan dan frekuensi kelahiran (paritas). Paritas adalah suatu periode dalam siklus reproduksi ternak dengan indikasi jumlah partus induk sapi. Paritas juga merupakan salah satu faktor predisposisi yang penting bagi ternak dalam hal performa reproduksi (Dewi, 2019). Paritas pertama adalah induk yang baru pertama kali beranak. Begitupun kelahiran-kelahiran berikutnya dinamakan dengan paritas kedua� dan seterusnya.

Walaupun demikian, kenyataan di lapangan menunjukkan sapi bali betina yang dijadikan akseptor IB memiliki variasi paritas yang tinggi atau beragam yang tentunya secara fisiologis ternak-ternak dengan keragaman yang seperti itu memiliki perbedaan fisiologis yang cukup signifikan. Demikian tentang tampilan estrus pada ternak sapi bali pada tingkatan paritas masih sangat minim, walaupuan tampilan estrus sapi bali hasil sinkronisasi sudah banyak diteliti bahkan dilakukan pengembangannya guna meningkatka kualitas dan populasi sapi bali. Respons estrus yang diperlihatkan menunjukkan persentase estrus sebesar 92,95 persen (Kune, dkk., 2018). Meskipun respons estrus begitu tinggi, tapi diperlihatkan bahwa angka kebuntingan ternak-ternak tersebut pada saat di IB atau dikawinkan secara alamiah hanya berkisar antaa 40 - 50% (Kune, dkk., 2019). Berdasarkan latar belakang yang sudah disampaikan, maka perlu dikaji tentang tampilan estrus sapi bali pada berbagai paritas di kecamatan amarasi selatan.

Ada pun penelitian yang serupa dilakukan oleh (Sari, 2022), dalam penelitiannya yang berjudul �Pengembangan Kurikulum Al-Islam Kemuhammadiyahan dan Bahasa Arab (ISMUBA) di SD Muhammadiyah Bendo Kulon Progo". Penelitian ini menggunakan metode eksperimen dengan Rancangan Acak Lengkap Pola Faktorial 2 x 2 x 6, menggunakan dua faktor yaitu faktor preparat hormon prostaglandin (Capriglandin dan Lutalyse) dan faktor dosis (3 ml dan 5 ml) dengan 6 ulangan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pemberian PGF2α (Capriglandin dan Lutalyse) terhadap respons estrus, service perconception, conception rate dan morfometrik ovarium. Hasil analisis antara preparat hormone prostaglandin (Capriglandin dan lutalyse terhadap jumlah dosis (3 ml dan 5 ml) menunjukan hasil berpengaruh sangat nyata (P<0.01) terhadap lama estrus dan ovarium, hasil berpengaruh nyata (P<0,05) terhadap conception rate dan folikel dan hasil tidak berpengaruh nyata (P>0,05) terhadap kecepatan munculnya estrus, intensitas estrus, service perconception dan corpus luteum. Pemberian terbaik pada penelitian pada Capriglandin dosis 5 ml pada sapi Simmental berdasarkan faktor ekonomi

 

����������������

 

METODE PENELITIAN

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode eksperimen lapangan dengan menggunakan desain penelitian rancangan acak lengkap , terdiri dari P1: Paritas 1-3 dan P2: Paritas 4-6. Dengan jumlah ternak pada P1 dan P2 masing-masing� sebanyak 16 dan 5 ekor. Induk-induk sapi diseleksi terlebih dahulu sebelum disikronisasi untuk memastikan sapi dalam keadaan sehat dan tidak bunting dengan melakukan pemeriksaan kebuntingan dengan teknik yang sederhana. Ternak sapi yang tidak bunting disuntikkan dengan hormon PGF2α sintetis (Juramate�) 2 mL per ekor yang mengandung bahan aktif Cloprostenol 500 μg/mL secara intramuskuler. Pengamatan estrus dimulai satu hari setelah penyuntikkan hormon PGF2α dan dilakukan pagi dan sore hari. Pengamatan estrus dilakukan secara visual dengan cara mendeteksi gejala-gejala estrus seperti keluar lendir jernih dari serviks melalui vagina dan vulva, ternak terlihat gelisah, sering melenguh-lenguh, mencoba menaiki sapi lain, pangkal ekor terangkat, nafsu makan berkurang, vulvanya membengkak, hangat, dan berubah warna menjadi sedikit kemerah-merahan.

Penelitian ini menggunakan 21 ekor ternak sapi bali betina dengan kisaran umur 3 sampai 15 tahun dan paritas 1 sampai paritas 6.

Variabel penelitian

Variabel yang diukur dalam penelitian ini adalah

1.      Onset estrus yaitu selang waktu dari mulai penyuntikkan sampai muncul gejala estrus dan dinyatakan dalam jam.

2.      Durasi estrus yaitu selisih waktu sejak munculya tanda-tanda estrus sampai tanda-tanda estrus tersebut menghilang dan dinyatakan dalam jam.

3.      Intensitas estrus adalah tingkat kejelasan tampilan gejala berahi yang ditunjukkan ternak pada saat berahi hasil perlakuan dengan skor. Untuk membandingkan tingkat intensitas berahi ini ditentukan skor 1 sampai dengan 3, yakni skor 1 (berahi urang jelas), skor 2 (berahi yang intensitasnya sedang) dan skor 3 (berahi dengan intensitas jelas) (Putri, 2017). Intensitas berahi skor 1 (+) diberikan bagi ternak yang memperlihatkan gejala keluar lendir kurang jelas, keadaan vulva (bengkak, basah dan merah) kurang jelas, nafsu makan tidak tampak menurun dan kurang gelisah serta tidak terlihat gejala menaiki dan diam saat dinaiki oleh sesama betina. Skor 2 (++) diberikan pada ternak yang memperlihatkan semua gejala berahi pada intensitas skor 1 dengan jelas kecuali gejala menaiki betina lain dan diam saat dinaiki betina lain, dan skor 3 (+++) diberikan bagi ternak sapi betina yang memperlihatkan semua gejala berahi dengan jelas.

4.      Presentase estrus (%) merupakan jumlah ternak sapi bali betina (ternak percobaan) yang mengalami gejala estrus setelah pemberian PGF2α.

x100

 

Analisis data

Data hasi penelitian yang meliputi onset estrus, durasi estrus dan intensitas estrus �dianalisis menggunakan uji T yang dilakukan dengan bantuan software SPSS versi 25.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pengaruh Perlakuan Terhadap Onset Estrus

Onset estrus (kecepatan timbulnya estrus) merupakan interval waktu sejak perlakuan sampai munculnya gejala estrus dan dinyatakan dalam jam (Haryani, 2002). Pengamatan onset estrus dilakukan dengan mendeteksi munculnya tana-tanda estrus melalui pengamatan visual tingkah laku sapi (menaiki betina lain, diam bila dinaiki� betina lain) dan kondisi vulva membengkak, merah, dan bassah dan keluar lendir bening melalui vulva (Handarini, dkk., 2017). Onset estrus sangat penting untuk diketahui guna mendukung keberhasilan IB terutama apabila melakuan induksi ternak sapi dalam jumlah banyak (Syafruddin, dkk., 2010). Data tentang onset estrus pada paritas yang berbeda ditampilkan pada Tabel 1.

Tabel 1. Pengaruh paritas terhadap tampilan estrus sapi bali

Variabel Penelitian

Paritas

 

P-value

 

1-3

4-6

 

Onset estrus (jam)

87,00 � 33,42

61.30 � 23,21

0,13

Durasi estrus (jam)

10,36 � 1,13

11,10 � 3,68

0,50

Intensitas estrus

2,07 � 0,83

2,00 � 1,00

0,88

 

Onset estrus pada sapi bali dengan paritas 1-3 berkisar antara 35 hingga 146,5 jam (rata-rata 87,00 jam) lebih panjang daripada paritas 4-6 yakni berkisar antara 32 hingga 94 jam (rata-rata 61,30 jam). Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa paritas berpengaruh tidak nyata (P>0,05) terhadap onset estrus sapi bali, dengan� P-Value 0,13. Hasil pelitian ini lebih cepat dari hasil penelitian (Tagama T.R, 1955) pada sapi PO yang disinkronisasi dengan PGF2α yang memiliki rata-rata 95,45 jam. Hal ini diduga karena bobot badan sapi bali lebih kecil dari bobot sapi PO secara umum. Pada sapi yang memiliki bobot lebih kecil hormon prostaglandin yang diberikan akan cepat menuju organ sasaran dan menjalankan fungsinya. Sedangkan pada ternak yang gemuk, hormon prostaglandin yang diberikan sebagian larut dalam lemak. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh (Goff, 2004) yang menyatakan bahwa senyawa prosaglandin bersifat asam. Larut dalam lemak dan merupakan turunan dari asam lemak tidak jenuh dan mengandung 20 atom C yang dihasilkan dari membran fosfolipid oleh aktifitas phospholipase A2,� cyclooxygenase prostaglandin synthase spesifik lainnya (Handayani, Hartono, & Siswanto, 1994).

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa paritas 4-6 memiliki onset estrus lebih cepat dari paritas 1-3, hasil ini sesuai dengan penelitian Ismail (2009) yang menyatakan bahwa ternak yang telah melahirkan lebih dari tiga kali onset estrusnya lebih cepat daripada ternak yang baru melahirkan satu sampai tiga kali atau belum pernah melahirkan sama sekali. Hal ini karena ternak pada paritas 4-6 memiliki ovarium yang lebih besar dari pada paritas 1-3. Menurut Nalbandov (1990) �ukuran ovarium tergantung pada umur dan status reproduksi ternak dan struktur yang ada didalamnya. Hal ini karena sel-sel dalam saluran reproduksi sudah cukup berkembang. Sehingga responsitifitas terhadap hormon PGF2α pun semakin baik dan menyebabkan ternak paritas 4-6 mengalami estrus lebih cepat dari pada paritas 1-3, (Handayani, dkk., 1994).

Paritas 4-6 memiliki kecepatan estrus lebih cepat dari pada paritas 1-3. Hal ini juga berhubungan dengan yang disekskresikan oleh hipotalamus, yaitu Gn-RH yang bertugas merangsang FSH. Hormon FSH ini berperan penting untuk merangsang pertumbuhan folikel pada ovarium. Pada pertumbuhannya folikel akan merangsang terbentuknya estrogen. Banyaknya folikel terekrut untuk berkembang lebih lanjut hingga folikel de Graaf sangat tergantung pada konsetrasi FSH dalam darah (Suzana, Udin, & Hendri, 2020). Ilham, dkk. (2016) menyatakan bahwa penyuntikan PGF2α menyebabkan lisisnya korpus luteum pada ovarium dan menyebabkan menurunnya kadar protein di dalam darah yang mengakibatkan hilangnya feed back negatif dari hipofisis anterior yang dapat mengakibatkan pengeluaran hormon FSH dan LH di dalam darah yang akan merangsang terjadinya proses folikulogenesis dan terjadinya ovulasi. Mekanisme dari hormon estrogen dapat menimbulkan sensitifitas pada organ kelamin betina yang disertai perubahan pada vulva dan keluarnya mukus yang transparan.

 

Pengaruh Perlakuan Terhadap Durasi Estrus

Durasi estrus atau lama estrus dihitung mulai dari pertama kali sapi menunjukkan gejala estrus setelah penyuntikan hormon sampai berakhirnya gejala estrus (Irmaylin, Hartono, & Edy Santosa, 2014). Lama strus dipengaruhi oleh kondisi tubuh ternak, umur ternak dan juga jenis hormon yang digunakan untuk sinkronisasi estrus. (Toelihere MR., 1985) menyatakan bahwa organ reproduksi yang normal melingkupi penyerentakkan dan penyesuaian banyak mekanisme fisiologi yang mengontrol siklus estrus. Durasi estrus sapi bali pada berbagai paritas ditampilkan pada Tabel 1.

Durasi estrus sapi bali dengan paritas 1-3 berkisar antara 8,5 hingga 12 jam dengan rata-rata 10,36 jam lebih pendek dari pada paritas 4-6 yakni berkisar antara 9 hingga 17,5 jam dengan rata-rata 11,10 jam. Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa paritas berpengaruh tidak nyata (P>0,05) terhadap durasi estrus ternak sapi bali, dengan P-Value yakni 0,50. Durasi estrus pada P2 lebih lama karena mekanisme dari fungsi hormon yang cukup panjang yaitu melisiskan CL terlebih dahulu baru merangsang sekresinya hormon untuk proses folikulogenesis dan juga dikarenakan perkembangan CL dari masing-masing individu yang berbeda-beda (Handarini et al., 2017). Meskipun uji statistik menunjukkan tidak terdapat perbedaan yang nyata tetapi dapat dilihat bahwa lama birahi pada sapi paritas 4-6 lebih lama yaitu 11,10 jam. Rata-rata lama birahi adalah 18 jam untuk sapi induk dan sedikit lebih pendek pada sapi dara dengan kisaran normal 12-24 jam. Lamanya waktu birahi sangat bervariasi diantara spesies dan pada tiap induk individu dalam satu spesies. Pada sapi dengan pakan yang kurang baik kualitasnya waktu birahinya lebih pendek (RowenD Frandson, w.lee. Wilke, 2003). Kekurangan nutrisi berarti rendahnya sekresi estradiol (Adams, Abordi, Briegel, & Sanders, 1994). Kekurangan nutrisi menyebabkan semua kelenjar dalam tubuh menurun. Penurunan fungsi kelenjar hipofisa anterior diikuti dengan menurunnya kadar hormon gonadotropin yaitu FSH dan LH (Jannah, dkk., 2020).

Tidak adanya perbedaan yang nyata pada lama estrus tersebut disebabkan oleh sekresi FSH dan LH dengan konsentrasi yang sama akibat kesamaan status nutrisi dan kondisi tubuh pada masing-masing sapi. FSH dan LH dengan konsentrasi yang sama tersebut mungkin mengakibatkan pertumbuhan dan pematangan folikel de Graaf yang tidak berbeda pada masing-masing sapi. Folikel de Graaf yang matang akan menghasilkan hormon estrogen (estradiol) yang berperan dalam timbulnya gejala estrus. Hal ini sesuai dengan (Toelihere MR., 1985) yang menyatakan bahwa FSH berfungsi untuk menstimulasi pertumbuhan dan pematangan folikel di ovarium. Pada fase estrus, folikel membesar dan menjadi matang. Folikel yang matang ini akan pecah dan menghasilkan ovum. Potensi relatif FSH dan LH pada berbagai ternak mungkin bertanggung jawab dalam lamanya estrus. LH bekerja sama dengan FSH dalam pematangan folikel dan pelepasan estrogen (Irmaylin et al., 2014).

Kualitas dan jumlah folikel yang berbeda juga mempengaruhi lama estrus, disisi lain jumlah folikel yang banyak berkorelasi dengan estrogen yang dihasilkan juga semakin banyak, yang pada akhirnya durasi estrus yang teramati akan lama. Sapi yang baru satu atau dua kali beranak biasanya masih menghasilkan kadar hormon estrogen yang rendah (Juliantari, dkk., 2021). Kontrol gelombang pertumbuhan folikel sangat penting dalam program superovulasi dan sinkronisasi estrus, yaitu mempengaruhi lama siklus estrus dan panjang fase luteal (Ramli, dkk., 2016). Durasi estrus erat kaitannya dengan sifat farmakologis dan biokimia hormon PGF2α yang mengaktifasi otot polos vagina.

Kondisi reproduksi sapi berhubungan dengan kemampuan memproduksi hormon reproduksinya secara maksimal. Hormon estrogen merupakan salah satu hormon yang berhubungan dengan estrus. Fungsi dari hormon estrogen adalah meningkatkan sensitifitas organ kelamin betina yang ditandai dengan terjadinya perubahan pada vulva dan keluarnya lendir transparan dari vulva (Panjaitan. dkk., 2020). Jelasnya gejala birahi akibat hormon estrogen diperkuat oleh laporan (Supriyanto dan Martinin. 2015) bahwa estrus yang timbul akan semakin jelas jika kosentrasi estrogen menungkat dalam darah. Salah satu penyebab pengamatan estrus lebih lama yaitu estrus yang kurang jelas.

 

Pengaruh Perlakuan terhadap Intensitas Estrus

Intensitas estrus adalah tingkat kejelasan tampilan gejala berahi yang diperlihatkan ternak pada saat berahi hasil perlakuan dengan skor (Djara, dkk., 2020). Data tentang intensitas estrus ditampilkan pada Tabel 1. Intensitas estrus pada sapi bali dengan paritas 1-3 berkisar antara 1 hingga 3 dengan nilai rata-rata 2,07, sedikit lebih tinggi daripada paritas 4-6 yakni berkisar antara 2 hingga 3, dengan nilai rata-rata 2,0. Hasil analisis menunjukkan bahwa paritas berpengaruh tidak nyata (P>0,05) terhadap intensitas estrus, dengan P-Value (signifikan) adalah� 0,88. Intensitas berahi yang diperoleh pada sapi bali P1 dan P2 berturut-turut adalah 2,07�0,83 dan 2,00�1,00. Walaupun tidak terdapat perbedaan yang nyata, sapi bali dengan paritas 1-3 yang diinduksi dengan PGF2α menunjukkan intensitas berahi relatif lebih tinggi karena beberapa sapi memiliki skor yang lebih besar. Tetapi, sapi bali dengan paritas 4-6 memiliki intensitas berahi� yang relatif lebih rendah karena beberapa sapi hanya mencapai skor yang rendah. Hal ini menjelaskan bahwa semua ternak sapi memperlihatkan intensitas yang berbeda-beda. Berbeda dengan hasil penelitian (Kune dan Solihati. 2007) pada sapi bali timor, yang mendapatkan intensitas berahi jelas antara yang disinkronisasi berahi dan berahi alami dengan persentase masing-masing sama yakni 71,42%. Meskipun secara statistik intensitas berahi pada kedua kelompok tidak berbeda tetapi terdapat kecenderungan peningkatan intensitas berahi sapi (Hafizuddin, dkk., 2012).

Kune dan Najamudin (2002) menyatakan bahwa perbedaan intensitas estrus sapi disebabkan oleh faktor-faktor seperti aktivitas, kondisi, interaksi dan juga aspek genetik ternak. Sementara itu, adanya warna kemerahan, pembengkakan serta kondisi hangat pada vulva disebabkan tingginya hormon estrogen yang selanjutnya memberi respon kepada adenohipofisa untuk memicu denyut jantung sehingga meningkatkan aliran darah melalui pembuluh darah menuju vulva. Purwasih, et al. (2014) menyatakan bahwa tingginya kadar estrogen dalam darah akan diikuti dengan meningkatkan hormon adrenalin yang menenyebabkan memicu denyut dan kontraksi jantung yang dapat meningkatkan sirkulasi darah. Meningkatnya kadar estrogen dalam darah juga dapat menyebabkan meningkatnya jumlah suplai darah ke saluran alat kelamin, sehingga terjadi peningkatan aktivitas sel-sel di daerah vagina yang berakibat meningkatnya temperatur vagina (Efendy dan Firdaus, 2021).

 

Pengaruh Perlakuan terhadap Persentase Estrus

Persentase estrus yang ditunjukkan oleh sapi percobaan setelah penyuntikan hormon PGF2α mencapai 90,47% (19 ekor estrus dari 21 ekor yang diberikan PGF2α). Persentase estrus ini cukup tinggi karena disebabkan oleh adanya corpus luteum pada semua sapi yang diberikan PGF2α. Rataan persentase estrus yang diperoleh pada penelitian ini relatif sama dengan hasil yang diperoleh (Yusuf dan Toelihere, 1990), sebesar 92,16% serta� (Kune dan Solihati, 2007) sebesar 91,26%. Penilaian respon estrus pada sapi percobaan oleh� pengamat estrus didasarkan pada salah satu tanda estrus yang muncul, sehingga kecenderungan angka respon estrus menjadi tinggi.

Hasil penelitian menunjukan bahwa sapi pada perlakuan P2 (paritas 4 -6) menghasilkan presentase estrus yang lebih tinggi yaitu 100% daripada perlakuan P1 yaitu 87,5% (Tabel 2).

Tabel �2. Rataan persentase estrus sapi bali pada paritas yang berbeda

Paritas

Jumlah Sapi

Perlakuan (ekor)

Jumlah Sapi estrus (ekor)

Estrus (%)

P1

16

14

87,5

P2

5

5

100

 

Pada perlakuan P1 terdapat 2 ekor sapi yang tidak menunjukkan gejala estrus pasca penyuntikkan PGF2α sehingga presentase estrus pada perlakuan P1 lebih rendah daripada perlakuan P2. �Hal ini disebabkan karena pada sapi perlakuan tidak semuanya memiliki CL yang matang pada saat penyuntikkan PGF2α. PGF2α tidak berpengaruh terhadap CL yang sedang tumbuh dan PGF2α hanya efektif dalam melisiskan CL matang yang terdapat pada fase luteal� (Tongku Nizwan Siregar, 2001). Wildeus (2000) menjelaskan bahwa pada CL yang matang telah terdapat reseptor yang akan membentuk ikatan dengan hormon PGF2α sehingga fungsi luteolisis dari hormon tersebut dapat terjadi. Selain itu, kemungkinan juga karena dosis yang diberikan kurang, status individu ternak, dan tidak terdapat CL dalam ovarium ternak. Wurlina (2005) menyatakan bahwa semua sapi menunjukkan gejala esrussetelah pemberian PGF2α. Menurut (Mahaputra dan Restiadi, 1993) timbulnya gejala estrus akibat pemberian PGF2α disebabkan lisisnya CL oleh kerja vasokontriksi PGF2α sehingga aliran darah menuju CL menurun, sehingga kadar progesteron yang dihasilkan CL dalam darah menurun. Penurunan kadar progesteon ini akan merangsang hipofisa anterior melepaskan FSH dan LH. Kedua hormon ini bertanggung jawab dalam proses folikulogenesis dan ovulasi, sehingga terjadi pertumbuhan dan pematangan folikel. Folikel-folikel tersebut kemudian menghasilkan hormon estrogen yang mampu memanifestasikan gejala estrus. Rata-rata timbulnya estrus �adalah 2 hari setelah pemberian PGF2α. Hal tersebut karena semua sapi berada dalam fase luteal yaitu fase saat CL berfungsi. Hasil penelitian tersebut sama dengan hasil penelitian (Moreira, et al., 2000) bahwa sapi akan estrus dalam waktu dua hari setelah penyuntikkan jika diinjeksi dengan PGF2α.

Tidak adanya pengaruh yang nyata terhadap persentase estrus kemungkinan disebabkan oleh metode penyuntikan PGF2α dua kali dengan interval 11 hari. Pada penyuntikan kedua PGF2α �menyebabkan� semua sapi berada pada fase yang sama. Hal ini sesuai dengan pendapat Macmillan (1983) bahwa penyuntikkan PGF2α untuk program penyerentakan estrus dilakukan dua kali denagan interval 11 hari. Menurut (Tomaszewska M, 1991) senyawa� prostaglandin� mampu� meregresi� CL secara serentak selama masa dari pertengahan sampai akhir dari birahi dan hanya efektif bila terdapat CL yang sedang aktif. Jadi perlu dilakukan dua kali penyuntikkan dengan jarak 8-12 hari untuk sinkronisasi sekelompok ternak (Putri, dkk., 2014).

Sebagai pembanding, (Setiadi, 1996) menyatakan bahwa sapi-sapi potong laktasi yang diberi PGF2α secara intramuskuler menyebabkan terjadinya estrus sebesar 87%. Menurut (Parthodihardjo, 1980) penyerentakan estrus pada sapi Bali dan PO yang mempunyai bobot badan rata-rata 230,50 kg dengan dosis PGF2α 15,0 mg secara intramusculer menunjukkan sapi yang mengalami estrus 92,4%. Menurut (Sudarmaji, dkk., 2007) penyerentakan estrus pada sapi Bali dan PO dengan metode penyuntikan PGF2α 2 kali menyebabkan semua sapi mengalami estrus (100%). Penyuntikkan PGF2α untuk program sinkronisasi akan menyebabkan berahi yang bervariasi tergantung fase perkembangan ovarium pada saat penyuntikkan, namun rata-rata berahi akan terjadi 2-5 hari pasca penyuntikkan kedua (Prastowo Y, 2015)

KESIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa paritas tidak memiliki pengaruh yang nyata (P>0,05) terhadap tampilan estrus sapi bali setelah dilakukan penyuntikan hormon prostaglandin F2α (PGF2α). Data hasi penelitian yang meliputi onset estrus, durasi estrus dan intensitas estrus �dianalisis menggunakan uji T yang dilakukan dengan bantuan software SPSS versi 25.

DAFTAR PUSTAKA

Adams, N. R., Abordi, J. A., Briegel, J. R., & Sanders, M. R. (1994). Effect of diet on the clearance of estradiol-17β in the ewe. Biology of Reproduction, 51(4), 668�674. https://doi.org/10.1095/biolreprod51.4.668

Dewi, A. A. S. (2019). Gambaran Paritas Sapi Potong Terhadap Performa Reproduksi Di Kelompok Ternak Yogyakarta. 2�4.

Djara, Djeremias, Henderiana, Taga ;., Belli, L. L., Kune, Petrus, & Uly, Kirenius. (2020). Pengaruh Waktu Penyuntikan Hormon PGF2α Setelah Berahi Alam Terhadap Respons Estrus dan Angka Kebuntingan pada Sapi Bali (Effect of PGF2α Hormone Injection Time After Natural Heat On Estrous Response and Pregnancyrate Of Bali Cow). Jurnal Peternakan Lahan Kering, Vol. 2, pp. 984�990.

Efendy, Jauhari, & Firdaus, Frediansyah. (2021). Deskripsi dan fenomena yang terjadi pada perkawinan alami sapi Peranakan Ongole (PO) dengan sapi Bali di Kandang Percobaan Loka Penelitian Sapi Potong. Livestock and Animal Research, 19(1), 54. https://doi.org/10.20961/lar.v19i1.41835

Goff, Alan K. (2004). Steroid hormone modulation of prostaglandin secretion in the ruminant endometrium during the estrous cycle. Biology of Reproduction, 71(1), 11�16. https://doi.org/10.1095/biolreprod.103.025890

Handarini, Ristika, Kurniawan, Sukurna, & Dihansih, Elis. (2017). RESPONS ESTRUS SAPI RESIPIEN FH YANG DISINKRONISASI DENGAN HORMONE GnRH, ESROGEN, PROGESTERON DAN PROSTAGLANDIN. Jurnal Pertanian, 8(1), 16. https://doi.org/10.30997/jp.v8i1.634

Handayani, Ulvi Fitri, Hartono, Madi, & Siswanto. (1994). Respon Kecepatan Timbulnya Estrus dan Lama Estrus pada Berbagai Paritas Sapi Bali Setelah Dua Kali Pemberian Prostaglandin. Universitas Lampung, pp. 33�40.

Haryani, R. (2002). Akselarasi Pemunculan dan Penyerentakan Estrus serta Keberhasilan Konsepsi Post-Partum Melalui Induksi Hormon Progestron, PMSG, dan Kombinasinya pada Sapi Bali.

Ilham, F., Dako, S., Rachman, AB, & Hulubangga, Y. (2016). Onset Dan Lama Estrus Kambing Kacang Yang Diinjeksi Prostaglandin F2Α Pada Submukosa Vulva. Seminar Nasional Peternakan 2, Fakultas Peternakan Universitas Hasanuddin Makasar, 25 Agustus 2016., (August), 23�27.

Irmaylin, S. M., Hartono, Madi, & Edy Santosa, Purnama. (2014). Respon Kecepatan Timbulnya Estrus Dan Lama Estrus Pada Berbagai Paritas Sapi Pernakan Ongole (PO) Setelah Dua Kali Penyuntikan Prostagladin F2α (PGF2α). Jurnal Ilmu Peternakan Terpadu, 2(1), 41�49.

Jannah, Raihatul, Thasmi, Cut Nila, Hamdan, Hamdan, & Siregar, Tongku Nizwan. (2020). Kinerja birahi pada sapi Aceh yang mengalami kawin berulang Estrous performance of Aceh cattle with repeat breeding. Jurnal Ovozoa, 9(2), 48�52.

Juliantari, Ni Komang Ade, Laksmi, Desak Nyoman Dewi Indira, & Bebas, Wayan. (2021). Jarak Beranak Sapi Bali pada Kelompok-kelompok Ternak di Wilayah Kerja Pusat Kesehatan Hewan Sobangan, Mengwi, Badung, Bali. Indonesia Medicus Veterinus, 10(5), 748�757. https://doi.org/10.19087/imv.2021.10.5.748

Kune, P., H.L.L. Belli, & W.M. Nalley. (2018). Respons Estrus Hasil Sinkronisasi dengan Prostaglandin F2alfa (PGF2α) dan Angka Kebuntingan serta Pola Estrus Alamiah Sapi Induk Bali.

Kune, p, Najamudin. (2002). Respon Esturs sapi potong akibat pemberian progesteron,protaglandin F2a dan estradiol benzoate dalam kegiatan sikronisasi estrus. Jurnal Ilmiah Peternakan Terpadu.

Kune, Petrus dan Nurcholidah, & Solihati. (2007). Tampilan Berahi dan Tingkat Kesuburan Sapi Bali Timor yang Diinseminasi ( The Performance of Estrus and Fertility Rate of Timor Bali Cow Inseminated ). Jurnal Ilmu Ternak, Juni 2007, 7(1), 1�5.

Kune, Petrus, Widyastuti, Rini, & Saili, Takdir. (2019). Tampilan Kesuburan Sapi Bali Induk yang Dikawinkan Langsung dengan Pejantan dan Inseminasi Buatan Ketika Estrus Hasil Sinkronisasi Menggunakan PGF2α. Jurnal Ilmu Dan Teknologi Peternakan Tropis, 6(2), 267. https://doi.org/10.33772/jitro.v6i2.7142

Macmillan, K. L. (1983). Prostaglandin responses in dairy herd breeding programmes. New Zealand Veterinary Journal, 31(7), 110�113. https://doi.org/10.1080/00480169.1983.34987

Mahaputra & Restiadi. (1993). Progesteron Selama Sinkronisasi Birahi dan Ovulasi Dalam Upaya Embrio Transfer Forum Komunikasi Hasil Penelitian Bidang Peternakan. yogyakarta.

Moreira, F., De La Sota, R. L., Diaz, T., & Thatcher, W. W. (2000). Effect of day of the estrous cycle at the initiation of a timed artificial insemination protocol on reproductive responses in dairy heifers. Journal of Animal Science, 78(6), 1568�1576. https://doi.org/10.2527/2000.7861568x

Nalbandov, A. .. (1990). Fisiologi Reproduksi Pada Mamalia Dan Unggas.

Panjaitan, Budianto, Pambudi, Ridho, Amansyah, Romi, Akmal, Muslim, & Siregar, Tongku Nizwan. (2020). Kadar Estrogen Darah dan Tingkat Keasaman (pH) Mukus Serviks Sapi Aceh Memengaruhi Daya Penetrasi Spermatozoa. Jurnal Veteriner, 21(3), 485�492. https://doi.org/10.19087/jveteriner.2020.21.3.485

Parthodihardjo, S. (1980). Ilmu Reproduksi Hewan. Jakarta: Mutiara.

Prastowo Y. (2015). Pengendalian Birahi Sapi Betina Bibit dengan Prostaglandin.

Purwasih, R., Setiatin, E. T., & Samsudewa, D. (2014). The effect of anredera cordifolia (Ten.) steenis supplementation on uterine involution process evaluated by oestrus post partum behavior and ferning. Journal of the Indonesian Tropical Animal Agriculture, 39(1), 17�22. https://doi.org/10.14710/jitaa.39.1.17-22

Putri, Arni Nadhirah, Suharyati, Sri, & Santosa, Purnama Edi. (2014). Pengaruh Paritas Terhadap Persentase Estrus dan Kebuntingan Sapi Peranakan Ongole yang Disinkronisasi menggunakan Prostaglandin F2α (PGF2α). Jurnal Ilmiah Peternakan Terpadu, 12(2), 31�36.

putri, Sari. (2017). PERFORMANS POPULASI INTI INDUK BIBIT SAPI BALI YANG MEMPUNYAI KINERJA PRIMA PADA PETERNAKAN RAKYAT DI KABUPATEN BARRU.

Ramli, Mauridatun, Siregar, Tongku Nizwan, Thasmi, Cut Nila, Dasrul, Wahyuni, Sri, & Sayuti, Arman. (2016). Hubungan Antara Intensitas Estrus Dengan Konsentrasi Estradiol Pada Sapi Aceh Pada Saat Inseminasi. Jurnal Medika Veterinaria, 10(1), 27�30.

RowenD Frandson, w.lee. Wilke, Anna Dee Fails. (2003). Anatomy and Physiology Farm Animals.

Sari, Bahagia. (2022). Pengaruh Pemberian PGF2α Dari Sumber Berbeda (Capriglandin Dan Lutalyse) Terhadap Respons Estrus, Service Perconception, Conception Rate Dan Morfometrik Ovarium Pada Sapi Simmental Di BPTUHPT Padang Mengatas. Universitas Andalas.

Setiadi. (1996). Pengaruh Dosis Prostaglandin F2α Analog terhadap Respon Birahi dan Hasil Inseminasinya pada Sapi Perah Friesian Holstein.

SUDARMAJI, SUDARMAJI, MALIK, A. B. D., & GUNAWAN, A. A. M. (2007). Pengaruh penyuntikan prostaglandin terhadap persentase birahi dan angka kebuntingan sapi Bali dan PO di Kalimantan Selatan. Majalah Ilmiah Peternakan, 10(1), 164346.

Supriyanto, & Martinin, Neli. (2015). Seminar Nasional: Sekolah Tiggi Penyusunan Pertanian (STPP) Magelang | 561. Seminar Nasional: Sekolah Tiggi Penyusunan Pertanian (STPP) Magelang, 1, 561�568.

Suzana, R., Udin, Z., & Hendri, Hendri. (2020). Penggunaan Metode Sinkronisasi Estrus terhadap Respon Estrus pada Kerbau Rawa (b. Bubalis carabauesis) di Kabupaten Padang Pariaman. Jurnal Peternakan Indonesia (Indonesian Journal of Animal Science), 22(2), 176. https://doi.org/10.25077/jpi.22.2.176-183.2020

Syafruddin, tongku nizwan siregar, herrialfian, t. armansyah. (2010). Efektivitas Pemberian Ekstrak Vesikula Seminalis. Efektivitas Pemberian Ekstrak Vesikula Seminalis Terhadap Persentase Berahi Dan Kebuntingan Pada Kambing Lokal, 4(3), 53�60.

Tagama T.R. (1955). Pengaruh Hormon Estrogen Dan Progesteron Dan prostaglandin F2a terhadap aktivitas berahi sapi PO dara. Jurnal Ilmiah Peternakan Terpadu.

Talib, Chalid. (2002). Sapi Bali di Daerah Sumber Bibit dan Peluang Pengembangannya. Wartazoa, 12(3), 100�107.

Toelihere MR. (1985). Fisiologi Reproduksi Pada Ternak. Bandung: penerbit angkasa bandung.

Tomaszewska M, W. (1991). Reproduksi Tingkah Laku dan Produksi Ternak di Indonesia. Jakart: Gramedia Pustaka Jakarta.

Tongku Nizwan Siregar. (2001). Tampilan Reproduksi Kambing Lokal Yang Mengalami Sikronisasi Berahi Dengan Prostaglandin F2-Alfa Dan Kehadiran Pejantan. Scientific Journal Ecompassing All Areas of Animals Science.

U, Hafizuddin, Siregar, Tongku Nizwan, Akmal, Muslim, Melia, Juli, Rizal, Husnur, & Armansyah, Teuku. (2012). Perbandingan Intensitas Berahi Sapi Aceh Yang Disinkronisasi Dengan Prostaglandin F2 Alfa Dan Berahi Alami. Jurnal Kedokteran Hewan - Indonesian Journal of Veterinary Sciences, 6(2), 81�83. https://doi.org/10.21157/j.ked.hewan.v6i2.296

Wildeus, S. (2000). Current concepts in synchronization of estrus: Sheep and goats. Journal of Animal Science, 77(E-Suppl), 1. https://doi.org/10.2527/jas2000.00218812007700es0040x

wurlina. (2005). Pengaruh Berbagai dosis prostaglandin F2 Alfa terhadap kualitas estrus pada kambing lokal. Media Kedokteran Hewan.

Yusuf & toelihere 1990. (1990). Pengaruh musim terhadap kesuburan ternak sapi bali di Besipae.