PENGARUH
PARITAS TERHADAP TAMPILAN ESTRUS SAPI BALI YANG DI SINKRONISASI
DENGAN� PROSTAGLANDIN F2A
������������������������������������������������������������������������������
Yusuf Sae1, Kirenius Uly2, Thomas Mata Hine3, Wilmientje M. Nalley4
Fakultas Peternakan, Kelautan, dan Perikanan, Universitas Nusa Cendana,
Indonesia
Email: [email protected]1, [email protected]2, [email protected]3, [email protected]4
ABSTRAK Sapi bali termasuk sapi
asli Indonesia� sebagai hasil penjinakkan dari banteng liar yang sudah berlangsung cukup lama. Sapi bali di Indonesia berasal dari Pulau Bali yang penyebarannya baru dimulai pada awal
abad 1900an. Penelitian
ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh paritas terhadap tampilan estrus sapi
bali. Materi yang digunakan dalam penelitian ini adalah 21 ekor sapi bali
betina� yang dimiliki� peternak di Kelurahan Buraen Kecamatan
Amarasi Selatan, kondisi sehat, tidak bunting, dengan kisaran umur 3 sampai
15 tahun dan paritas 1 sampai dengan paritas 6. Metode yang digunakan dalam
penelitian ini adalah metode eksperimen lapangan dengan menggunakan desain
penelitian rancangan acak lengkap yang terdiri dari P1: Paritas 1-3 dan P2:
Paritas 4-6 dengan paritas ternak pada P1 dan P2 adalah 16 dan 15 ekor. Ternak sapi yang tidak bunting disuntikan
dengan hormon PGF2a sintetis 2 ml per ekor, yang mengandung
bahan aktif Cloprostenol 500 �g. Sapi betina yang telah diberikan PGF2a
kemudian diamati berahinya sejak dari hari pertama sampai hari ke enam. Data
tentang persentase estrus, durasi estrus, intensitas estrus, dan kecepatan
timbulnya gejala estrus dicatat sebagai variabel penelitian yang diukur. Data
yang diperoleh di analisis menggunakan Uji T. Hasil analisis menunjukkan
bahwa paritas tidak berpengaruh nyata (P>0,05) terhadap tampilan estrus.
Kesimpulan dari penelitian ini adalah paritas tidak memiliki pengaruh yang
nyata (P>0,05) terhadap tampilan estrus sapi bali setelah dilakukan
penyuntikan hormon prostaglandin F2a (PGF2a). � Kata kunci: Sapi bali, paritas, tampilan
estrus, hormon prostaglandin (PGF2a) �ABSTRACT Balinese cattle are native to Indonesia as a result of the taming of wild
bulls that has been going on for a long time. Balinese cattle in Indonesia
originated from the island of Bali, where they were introduced in the early
1900s. This study aims to determine the effect of parity on the appearance of
estrous bali cattle. The material used in this study were 21 female Bali
cattle owned by breeders in Buraen Village/District, South Amarasi District,
healthy condition, not pregnant, with an age range of 3-15 years and parity 1
to parity 6. The method used in this study was a field experiment method
using a completely randomized design consisting of two treatments, namely T1:
Parity 1-3 and T2: Parity 4-6 and two replications. Cattle that are not
pregnant are injected with the synthetic hormone PGF2α 2 ml per head,
which contains the active ingredient Cloprostenol 500 �g. The cows that had
been given PGF2α were then observed for heat from the first day to the
sixth day. Data on the percentage of estrus, duration of estrus, intensity of
estrus, and speed of onset of estrous symptoms were recorded as research
variables that were measured. The data obtained were analyzed using the T
test. The results of the analysis showed that parity had no significant
effect (P>0.05) on the appearance of estrus. The conclusion of this study
was that parity had no significant effect (P>0.05) on the estrous
appearance of bali cattle after injection of the hormone prostaglandin F2a (PGF2a). � Keywords: Bali cattle, parity, estrus display, prostaglandin
hormone (PGF2α).�� |
|
|
This work is
licensed under a Creative Commons Attribution-ShareAlike 4.0 International |
PENDAHULUAN
Sapi bali termasuk
sapi asli Indonesia� sebagai hasil penjinakkan dari banteng liar yang sudah berlangsung cukup
lama. Sapi bali
di Indonesia berasal dari Pulau Bali yang
penyebarannya baru dimulai pada awal abad 1900an. Walaupun demikian dalam waktu
hampir seratus tahun pengembangannya di luar bali, sapi-sapi ini telah
menunjukkan variasi yang cukup besar dalam produktivitas reproduksinya. Sapi bali juga merupakan
sapi kecil dan memiliki berat badan
yang hampir mirip dengan beberapa bangsa sapi kecil lainnya di India
dan Afrika. Begitupun variasi bobot badan pada berbagai tingkat umur pada sapi bali cukup besar (Talib, 2002).
Selain variasi bobot badan pada sapi bali, tingkat keberhasilan inseminasi buatan (IB) pada ternak sapi bali di Pulau
Timor masih rendah� yaitu ≤40% (Kune, dkk.,
2019). Tingkat keberhasilan IB pada ternak sapi bali
di Pulau Timor yang masih rendah� tersebut sangat memprihatinkan untuk dicari jalan keluarnya,
salah satu penyebabnya adalah tampilan estrus dari ternak. Tampilan atau tanda-tanda estrus biasanya ditunjukkan oleh induk sapi pada
saat estrus (Kune, dkk.,
2019). Pengaruh
tampilan estrus terhadap keberhasilan IB berhubungan erat dengan kandungan
hormon estrogen, kadar
estrogen yang tinggi maka
tampilan estrus jelas diikuti dengan kualitas folikel sehingga menghasilkan sel
telur yang berkualitas� dan
baik pula. Sinkronisasi
estrus yaitu usaha yang dilakukan
untuk menghasilkan ternak yang estrus secara serentak, contohnya
dengan menggunakan hormone PGF2α. Sinkronisasi estrus
dilakukan dengan tujuan yaitu dapat mempermudah peternak dalam pengamatan
estrus dan pelaksanaan IB yang optimal sehingga memungkinkan tingginya angka
kebuntingan.
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi kebehasilan sinkronisasi estrus salah
satunya yaitu reproduksi ternak atau kemampuan reproduksi pada sapi dengan lama
kehidupan dan frekuensi kelahiran (paritas). Paritas adalah suatu periode dalam
siklus reproduksi ternak dengan indikasi jumlah partus induk sapi. Paritas juga
merupakan salah satu faktor predisposisi yang penting bagi ternak dalam hal
performa reproduksi (Dewi, 2019).
Paritas pertama adalah induk yang baru pertama kali beranak. Begitupun kelahiran-kelahiran berikutnya dinamakan dengan paritas kedua� dan seterusnya.
Walaupun demikian, kenyataan di lapangan menunjukkan sapi bali betina yang
dijadikan akseptor IB memiliki variasi paritas yang tinggi atau beragam yang
tentunya secara fisiologis ternak-ternak dengan keragaman yang seperti itu
memiliki perbedaan fisiologis yang cukup signifikan. Demikian tentang tampilan
estrus pada ternak sapi bali pada tingkatan paritas masih sangat minim,
walaupuan tampilan estrus sapi bali hasil sinkronisasi sudah banyak diteliti
bahkan dilakukan pengembangannya guna meningkatka kualitas dan populasi sapi
bali. Respons estrus yang diperlihatkan menunjukkan persentase estrus sebesar
92,95 persen (Kune, dkk., 2018).
Meskipun respons estrus begitu tinggi, tapi diperlihatkan bahwa angka
kebuntingan ternak-ternak tersebut pada saat di IB atau dikawinkan secara
alamiah hanya berkisar antaa 40 - 50% (Kune, dkk.,
2019).
Berdasarkan latar belakang yang sudah disampaikan, maka perlu dikaji tentang
tampilan estrus sapi bali pada berbagai paritas di kecamatan amarasi selatan.
Ada pun penelitian yang serupa dilakukan oleh (Sari, 2022), dalam penelitiannya yang berjudul �Pengembangan Kurikulum Al-Islam
Kemuhammadiyahan dan Bahasa Arab (ISMUBA) di SD Muhammadiyah Bendo Kulon
Progo". Penelitian ini menggunakan metode eksperimen dengan Rancangan Acak
Lengkap Pola Faktorial 2 x 2 x 6, menggunakan dua faktor yaitu faktor preparat
hormon prostaglandin (Capriglandin dan Lutalyse) dan faktor dosis (3 ml dan 5
ml) dengan 6 ulangan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pemberian
PGF2α (Capriglandin dan Lutalyse) terhadap respons estrus, service
perconception, conception rate dan morfometrik ovarium. Hasil analisis antara
preparat hormone prostaglandin (Capriglandin dan lutalyse terhadap jumlah dosis
(3 ml dan 5 ml) menunjukan hasil berpengaruh sangat nyata (P<0.01) terhadap
lama estrus dan ovarium, hasil berpengaruh nyata (P<0,05) terhadap
conception rate dan folikel dan hasil tidak berpengaruh nyata (P>0,05)
terhadap kecepatan munculnya estrus, intensitas estrus, service perconception
dan corpus luteum. Pemberian terbaik pada penelitian pada Capriglandin dosis 5
ml pada sapi Simmental berdasarkan faktor ekonomi
����������������
METODE PENELITIAN
Metode
yang digunakan dalam
penelitian ini adalah metode eksperimen
lapangan dengan menggunakan desain penelitian rancangan
acak
lengkap
, terdiri dari P1:
Paritas 1-3 dan P2: Paritas 4-6. Dengan jumlah ternak pada P1 dan P2
masing-masing� sebanyak 16 dan 5 ekor.
Induk-induk sapi diseleksi terlebih dahulu sebelum disikronisasi untuk
memastikan sapi dalam keadaan sehat dan tidak bunting dengan melakukan
pemeriksaan kebuntingan dengan teknik yang sederhana. Ternak sapi yang tidak bunting disuntikkan dengan hormon PGF2α sintetis (Juramate�) 2 mL per ekor yang mengandung bahan aktif Cloprostenol
500 μg/mL secara intramuskuler. Pengamatan estrus dimulai satu
hari setelah penyuntikkan hormon PGF2α dan dilakukan pagi dan sore hari. Pengamatan estrus dilakukan secara
visual dengan cara mendeteksi gejala-gejala estrus seperti keluar lendir jernih
dari serviks melalui vagina dan vulva, ternak terlihat gelisah, sering
melenguh-lenguh, mencoba menaiki sapi lain, pangkal ekor terangkat, nafsu makan
berkurang, vulvanya membengkak, hangat, dan berubah warna menjadi sedikit
kemerah-merahan.
Penelitian ini menggunakan 21
ekor ternak sapi bali betina dengan kisaran umur 3 sampai 15 tahun dan paritas 1 sampai paritas 6.
Variabel
penelitian
Variabel yang diukur dalam penelitian
ini adalah
1. Onset estrus yaitu selang waktu dari
mulai penyuntikkan sampai muncul gejala estrus dan dinyatakan dalam jam.
2. Durasi estrus yaitu selisih waktu sejak
munculya tanda-tanda estrus sampai tanda-tanda estrus tersebut menghilang dan
dinyatakan dalam jam.
3. Intensitas estrus adalah tingkat
kejelasan tampilan gejala berahi yang ditunjukkan ternak pada saat berahi hasil
perlakuan dengan skor. Untuk membandingkan tingkat intensitas berahi ini
ditentukan skor 1 sampai dengan 3, yakni skor 1 (berahi urang jelas), skor 2
(berahi yang intensitasnya sedang) dan skor 3 (berahi dengan intensitas jelas) (Putri, 2017). Intensitas berahi skor 1 (+) diberikan bagi ternak yang
memperlihatkan gejala keluar lendir kurang jelas, keadaan vulva (bengkak, basah
dan merah) kurang jelas, nafsu makan tidak tampak menurun dan kurang gelisah
serta tidak terlihat gejala menaiki dan diam saat dinaiki oleh sesama betina.
Skor 2 (++) diberikan pada ternak yang memperlihatkan semua gejala berahi pada
intensitas skor 1 dengan jelas kecuali gejala menaiki betina lain dan diam saat
dinaiki betina lain, dan skor 3 (+++) diberikan bagi ternak sapi betina yang
memperlihatkan semua gejala berahi dengan jelas.
4. Presentase estrus (%) merupakan jumlah
ternak sapi bali betina (ternak percobaan) yang mengalami gejala estrus setelah
pemberian PGF2α.
Analisis data
Data hasi penelitian yang meliputi
onset estrus, durasi estrus dan intensitas estrus �dianalisis menggunakan uji T yang dilakukan
dengan bantuan software SPSS versi 25.
HASIL
DAN PEMBAHASAN
Pengaruh Perlakuan Terhadap Onset Estrus
Onset estrus
(kecepatan timbulnya estrus) merupakan interval waktu sejak perlakuan sampai munculnya
gejala estrus dan dinyatakan dalam jam (Haryani,
2002). Pengamatan onset estrus dilakukan dengan mendeteksi munculnya tana-tanda
estrus melalui pengamatan visual tingkah laku sapi (menaiki betina lain, diam
bila dinaiki� betina lain) dan kondisi
vulva membengkak, merah, dan bassah dan keluar lendir bening melalui vulva (Handarini, dkk., 2017). Onset
estrus sangat penting untuk diketahui guna mendukung keberhasilan IB terutama
apabila melakuan induksi ternak sapi dalam jumlah banyak (Syafruddin, dkk., 2010). Data tentang onset estrus pada paritas yang berbeda
ditampilkan pada Tabel 1.
Tabel 1. Pengaruh paritas terhadap
tampilan estrus sapi bali
Variabel Penelitian |
Paritas |
|
P-value |
|
1-3 |
4-6 |
|
Onset estrus (jam) |
87,00 � 33,42 |
61.30 � 23,21 |
0,13 |
Durasi estrus (jam) |
10,36 � 1,13 |
11,10 � 3,68 |
0,50 |
Intensitas estrus |
2,07 � 0,83 |
2,00 � 1,00 |
0,88 |
Onset
estrus pada sapi bali dengan paritas 1-3 berkisar antara 35 hingga 146,5 jam (rata-rata
87,00 jam) lebih panjang daripada paritas 4-6 yakni berkisar antara 32 hingga 94
jam (rata-rata 61,30 jam). Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa paritas
berpengaruh tidak nyata (P>0,05) terhadap onset estrus sapi bali,
dengan� P-Value 0,13. Hasil pelitian ini
lebih cepat dari hasil penelitian (Tagama T.R, 1955) pada sapi PO yang
disinkronisasi dengan PGF2α yang memiliki rata-rata 95,45 jam.
Hal ini diduga karena bobot badan sapi bali lebih kecil dari bobot sapi PO secara
umum. Pada sapi yang memiliki bobot lebih kecil hormon prostaglandin yang
diberikan akan cepat menuju organ sasaran dan menjalankan fungsinya. Sedangkan
pada ternak yang gemuk, hormon prostaglandin yang diberikan sebagian larut
dalam lemak. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh (Goff, 2004) yang menyatakan bahwa senyawa
prosaglandin bersifat asam. Larut dalam lemak dan merupakan turunan dari asam
lemak tidak jenuh dan mengandung 20 atom C yang dihasilkan dari membran
fosfolipid oleh aktifitas phospholipase A2,�
cyclooxygenase prostaglandin synthase spesifik lainnya (Handayani,
Hartono, & Siswanto, 1994).
Hasil
penelitian ini menunjukkan bahwa paritas 4-6 memiliki onset estrus lebih cepat
dari paritas 1-3, hasil ini sesuai dengan penelitian Ismail (2009) yang
menyatakan bahwa ternak yang telah melahirkan lebih dari tiga kali onset
estrusnya lebih cepat daripada ternak yang baru melahirkan satu sampai tiga
kali atau belum pernah melahirkan sama sekali. Hal ini karena ternak pada
paritas 4-6 memiliki ovarium yang lebih besar dari pada paritas 1-3. Menurut Nalbandov (1990) �ukuran ovarium tergantung pada umur dan status
reproduksi ternak dan struktur yang ada didalamnya. Hal ini karena sel-sel
dalam saluran reproduksi sudah cukup berkembang. Sehingga responsitifitas
terhadap hormon PGF2α pun semakin baik dan menyebabkan ternak
paritas 4-6 mengalami estrus lebih cepat dari pada paritas 1-3, (Handayani, dkk.,
1994).
Paritas
4-6 memiliki kecepatan estrus lebih cepat dari pada paritas 1-3. Hal ini juga
berhubungan dengan yang disekskresikan oleh hipotalamus, yaitu Gn-RH yang
bertugas merangsang FSH. Hormon FSH ini berperan penting untuk merangsang
pertumbuhan folikel pada ovarium. Pada pertumbuhannya folikel akan merangsang
terbentuknya estrogen. Banyaknya folikel terekrut untuk berkembang lebih lanjut
hingga folikel de Graaf sangat tergantung pada konsetrasi FSH dalam darah (Suzana, Udin,
& Hendri, 2020). Ilham, dkk. (2016) menyatakan bahwa penyuntikan
PGF2α menyebabkan lisisnya korpus luteum pada ovarium dan
menyebabkan menurunnya kadar protein di dalam darah yang mengakibatkan
hilangnya feed back negatif dari
hipofisis anterior yang dapat mengakibatkan pengeluaran hormon FSH dan LH di
dalam darah yang akan merangsang terjadinya proses folikulogenesis dan
terjadinya ovulasi. Mekanisme dari hormon estrogen dapat menimbulkan
sensitifitas pada organ kelamin betina yang disertai perubahan pada vulva dan
keluarnya mukus yang transparan.
Pengaruh Perlakuan Terhadap Durasi Estrus
Durasi
estrus atau lama estrus dihitung mulai dari pertama kali sapi menunjukkan
gejala estrus setelah penyuntikan hormon sampai berakhirnya gejala estrus (Irmaylin,
Hartono, & Edy Santosa, 2014). Lama strus dipengaruhi oleh
kondisi tubuh ternak, umur ternak dan juga jenis hormon yang digunakan untuk
sinkronisasi estrus. (Toelihere MR., 1985) menyatakan bahwa
organ reproduksi yang normal melingkupi penyerentakkan
dan penyesuaian banyak mekanisme fisiologi yang mengontrol siklus estrus. Durasi estrus sapi bali pada berbagai paritas ditampilkan pada Tabel 1.
Durasi
estrus sapi bali dengan paritas 1-3 berkisar antara 8,5 hingga 12 jam dengan
rata-rata 10,36 jam lebih pendek dari pada paritas 4-6 yakni berkisar antara 9
hingga 17,5 jam dengan rata-rata 11,10 jam. Hasil analisis statistik
menunjukkan bahwa paritas berpengaruh tidak nyata (P>0,05) terhadap durasi
estrus ternak sapi bali, dengan P-Value yakni 0,50. Durasi estrus pada P2 lebih
lama karena mekanisme dari fungsi hormon yang cukup panjang yaitu melisiskan CL
terlebih dahulu baru merangsang sekresinya hormon untuk proses folikulogenesis
dan juga dikarenakan perkembangan CL dari masing-masing individu yang
berbeda-beda (Handarini et
al., 2017). Meskipun uji statistik menunjukkan tidak terdapat perbedaan yang nyata
tetapi dapat dilihat bahwa lama birahi pada sapi paritas 4-6 lebih lama yaitu
11,10 jam. Rata-rata lama birahi adalah 18 jam untuk sapi induk dan sedikit
lebih pendek pada sapi dara dengan kisaran normal 12-24 jam. Lamanya waktu
birahi sangat bervariasi diantara spesies dan pada tiap induk individu dalam
satu spesies. Pada sapi dengan pakan yang kurang baik kualitasnya waktu
birahinya lebih pendek (RowenD Frandson, w.lee. Wilke, 2003). Kekurangan nutrisi berarti
rendahnya sekresi estradiol (Adams, Abordi, Briegel, & Sanders, 1994). Kekurangan nutrisi
menyebabkan semua kelenjar dalam tubuh menurun. Penurunan fungsi kelenjar
hipofisa anterior diikuti dengan menurunnya kadar hormon gonadotropin yaitu FSH
dan LH (Jannah, dkk.,
2020).
Tidak
adanya perbedaan yang nyata pada lama estrus tersebut disebabkan oleh sekresi
FSH dan LH dengan konsentrasi yang sama akibat kesamaan status nutrisi dan
kondisi tubuh pada masing-masing sapi. FSH dan LH dengan konsentrasi yang sama
tersebut mungkin mengakibatkan pertumbuhan dan pematangan folikel de Graaf yang
tidak berbeda pada masing-masing sapi. Folikel de Graaf yang matang akan
menghasilkan hormon estrogen (estradiol) yang berperan dalam timbulnya gejala
estrus. Hal ini sesuai dengan (Toelihere
MR., 1985) yang menyatakan bahwa FSH berfungsi untuk menstimulasi pertumbuhan dan
pematangan folikel di ovarium. Pada fase estrus, folikel membesar dan menjadi
matang. Folikel yang matang ini akan pecah dan menghasilkan ovum. Potensi
relatif FSH dan LH pada berbagai ternak mungkin bertanggung jawab dalam lamanya
estrus. LH bekerja sama dengan FSH dalam pematangan folikel dan pelepasan
estrogen (Irmaylin et
al., 2014).
Kualitas
dan jumlah folikel yang berbeda juga mempengaruhi lama estrus, disisi lain
jumlah folikel yang banyak berkorelasi dengan estrogen yang dihasilkan juga
semakin banyak, yang pada akhirnya durasi estrus yang teramati akan lama. Sapi
yang baru satu atau dua kali beranak biasanya masih menghasilkan kadar hormon
estrogen yang rendah (Juliantari, dkk.,
2021). Kontrol gelombang pertumbuhan folikel sangat penting dalam program
superovulasi dan sinkronisasi estrus, yaitu mempengaruhi lama siklus estrus dan
panjang fase luteal (Ramli, dkk.,
2016). Durasi estrus erat kaitannya dengan sifat farmakologis dan biokimia
hormon PGF2α yang mengaktifasi otot polos vagina.
Kondisi
reproduksi sapi berhubungan dengan kemampuan memproduksi hormon reproduksinya
secara maksimal. Hormon estrogen merupakan salah satu hormon yang
berhubungan dengan estrus. Fungsi dari hormon estrogen adalah meningkatkan
sensitifitas organ kelamin betina yang ditandai dengan terjadinya perubahan
pada vulva dan keluarnya lendir transparan dari vulva (Panjaitan.
dkk., 2020). Jelasnya gejala birahi akibat hormon estrogen diperkuat oleh laporan (Supriyanto dan Martinin. 2015) bahwa estrus yang timbul akan
semakin jelas jika kosentrasi estrogen menungkat dalam darah. Salah satu
penyebab pengamatan estrus lebih lama yaitu estrus yang kurang jelas.
Pengaruh Perlakuan terhadap Intensitas Estrus
Intensitas
estrus adalah tingkat kejelasan tampilan gejala berahi yang diperlihatkan
ternak pada saat berahi hasil
perlakuan dengan skor (Djara, dkk., 2020). Data tentang intensitas
estrus ditampilkan pada Tabel 1. Intensitas estrus pada sapi bali dengan
paritas 1-3 berkisar antara 1 hingga 3 dengan nilai rata-rata 2,07, sedikit
lebih tinggi daripada paritas 4-6 yakni berkisar antara 2 hingga 3, dengan
nilai rata-rata 2,0. Hasil analisis menunjukkan bahwa paritas berpengaruh tidak
nyata (P>0,05) terhadap intensitas estrus, dengan P-Value (signifikan)
adalah� 0,88. Intensitas berahi yang
diperoleh pada sapi bali P1 dan P2 berturut-turut adalah 2,07�0,83 dan
2,00�1,00. Walaupun tidak terdapat perbedaan yang nyata, sapi bali dengan
paritas 1-3 yang diinduksi dengan PGF2α menunjukkan intensitas
berahi relatif lebih tinggi karena beberapa sapi memiliki skor yang lebih
besar. Tetapi, sapi bali dengan paritas 4-6 memiliki intensitas berahi� yang relatif lebih rendah karena beberapa
sapi hanya mencapai skor yang rendah. Hal ini menjelaskan bahwa semua ternak
sapi memperlihatkan intensitas yang berbeda-beda. Berbeda dengan hasil
penelitian (Kune dan
Solihati. 2007) pada sapi bali timor, yang mendapatkan intensitas berahi jelas antara yang
disinkronisasi berahi dan berahi alami dengan persentase masing-masing sama
yakni 71,42%. Meskipun secara statistik intensitas berahi pada kedua kelompok
tidak berbeda tetapi terdapat kecenderungan peningkatan intensitas berahi sapi (Hafizuddin, dkk., 2012).
Kune dan
Najamudin (2002) menyatakan bahwa perbedaan intensitas estrus sapi disebabkan oleh
faktor-faktor seperti aktivitas, kondisi, interaksi dan juga aspek genetik
ternak. Sementara itu, adanya warna kemerahan, pembengkakan serta kondisi
hangat pada vulva disebabkan tingginya hormon estrogen yang selanjutnya memberi
respon kepada adenohipofisa untuk memicu denyut jantung sehingga meningkatkan
aliran darah melalui pembuluh darah menuju vulva. Purwasih, et al. (2014) menyatakan bahwa tingginya
kadar estrogen dalam darah akan diikuti dengan meningkatkan hormon adrenalin
yang menenyebabkan memicu denyut dan kontraksi jantung yang dapat meningkatkan
sirkulasi darah. Meningkatnya kadar estrogen dalam darah juga dapat menyebabkan
meningkatnya jumlah suplai darah ke saluran alat kelamin, sehingga terjadi
peningkatan aktivitas sel-sel di daerah vagina yang berakibat meningkatnya
temperatur vagina (Efendy dan Firdaus, 2021).
Pengaruh
Perlakuan terhadap Persentase Estrus
Persentase estrus yang ditunjukkan oleh sapi percobaan setelah penyuntikan hormon PGF2α mencapai
90,47% (19 ekor estrus dari
21 ekor yang diberikan PGF2α).
Persentase estrus ini cukup tinggi karena
disebabkan oleh adanya corpus luteum pada semua sapi
yang diberikan PGF2α. Rataan persentase estrus yang
diperoleh pada penelitian ini relatif sama dengan hasil yang diperoleh (Yusuf dan
Toelihere, 1990), sebesar 92,16% serta� (Kune dan
Solihati, 2007) sebesar 91,26%. Penilaian respon estrus pada sapi percobaan oleh� pengamat estrus didasarkan pada salah satu
tanda estrus yang muncul, sehingga kecenderungan angka respon estrus menjadi
tinggi.
Hasil
penelitian menunjukan bahwa sapi pada perlakuan P2 (paritas 4 -6) menghasilkan
presentase estrus yang lebih tinggi yaitu 100% daripada perlakuan P1 yaitu
87,5% (Tabel 2).
Tabel �2. Rataan
persentase estrus sapi
bali pada paritas yang berbeda
Paritas |
Jumlah Sapi Perlakuan (ekor) |
Jumlah Sapi estrus (ekor) |
Estrus (%) |
P1 |
16 |
14 |
87,5 |
P2 |
5 |
5 |
100 |
Pada
perlakuan P1 terdapat 2 ekor sapi yang tidak menunjukkan gejala estrus pasca
penyuntikkan PGF2α sehingga presentase estrus pada perlakuan P1 lebih rendah daripada
perlakuan P2. �Hal ini disebabkan karena pada
sapi perlakuan tidak semuanya memiliki CL yang matang pada saat penyuntikkan PGF2α. PGF2α tidak
berpengaruh terhadap CL yang sedang tumbuh dan PGF2α hanya
efektif dalam melisiskan CL matang yang terdapat pada fase luteal� (Tongku Nizwan
Siregar, 2001). Wildeus (2000) menjelaskan bahwa pada CL yang
matang telah terdapat reseptor yang akan membentuk ikatan dengan hormon PGF2α
sehingga fungsi luteolisis dari hormon tersebut dapat terjadi. Selain itu,
kemungkinan juga karena dosis yang diberikan kurang, status individu ternak,
dan tidak terdapat CL dalam ovarium ternak. Wurlina (2005) menyatakan bahwa semua sapi menunjukkan gejala
esrussetelah pemberian PGF2α. Menurut (Mahaputra dan Restiadi, 1993) timbulnya gejala estrus akibat
pemberian PGF2α disebabkan lisisnya
CL oleh kerja vasokontriksi PGF2α sehingga
aliran darah menuju CL menurun, sehingga kadar progesteron yang dihasilkan CL dalam darah menurun. Penurunan kadar progesteon ini akan merangsang hipofisa anterior melepaskan
FSH dan LH. Kedua hormon ini bertanggung jawab dalam proses folikulogenesis dan
ovulasi, sehingga terjadi pertumbuhan dan pematangan folikel. Folikel-folikel
tersebut kemudian menghasilkan hormon estrogen yang mampu memanifestasikan
gejala estrus. Rata-rata timbulnya estrus �adalah 2 hari setelah pemberian PGF2α. Hal tersebut karena semua sapi berada dalam fase luteal yaitu fase saat CL
berfungsi. Hasil penelitian tersebut sama dengan hasil
penelitian (Moreira, et al., 2000) bahwa
sapi akan estrus dalam waktu dua
hari setelah penyuntikkan jika diinjeksi dengan PGF2α.
Tidak
adanya pengaruh yang nyata terhadap persentase estrus kemungkinan disebabkan
oleh metode penyuntikan PGF2α dua kali dengan interval 11 hari.
Pada penyuntikan kedua PGF2α �menyebabkan� semua sapi berada pada fase yang sama. Hal ini
sesuai dengan pendapat Macmillan (1983) bahwa penyuntikkan PGF2α untuk
program penyerentakan estrus dilakukan dua kali denagan interval 11 hari.
Menurut (Tomaszewska
M, 1991) senyawa� prostaglandin� mampu�
meregresi� CL secara serentak
selama masa dari pertengahan sampai akhir dari birahi dan hanya efektif bila
terdapat CL yang sedang aktif. Jadi perlu
dilakukan dua kali penyuntikkan dengan jarak 8-12 hari untuk
sinkronisasi sekelompok ternak (Putri, dkk., 2014).
Sebagai pembanding, (Setiadi,
1996) menyatakan bahwa sapi-sapi potong laktasi yang diberi PGF2α secara
intramuskuler menyebabkan terjadinya estrus sebesar 87%.
Menurut (Parthodihardjo,
1980) penyerentakan estrus pada sapi Bali dan PO yang mempunyai bobot badan
rata-rata 230,50 kg dengan dosis PGF2α 15,0 mg secara
intramusculer menunjukkan sapi yang mengalami estrus 92,4%. Menurut (Sudarmaji, dkk., 2007) penyerentakan estrus pada sapi
Bali dan PO dengan metode penyuntikan PGF2α 2 kali
menyebabkan semua sapi mengalami estrus (100%).
Penyuntikkan PGF2α untuk program sinkronisasi akan menyebabkan
berahi yang bervariasi tergantung fase perkembangan ovarium pada saat
penyuntikkan, namun rata-rata berahi akan terjadi 2-5 hari pasca penyuntikkan
kedua (Prastowo Y, 2015)
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan
dapat disimpulkan bahwa paritas tidak memiliki pengaruh yang nyata (P>0,05) terhadap
tampilan estrus sapi bali setelah dilakukan penyuntikan hormon prostaglandin
F2α (PGF2α). Data hasi penelitian yang meliputi onset estrus, durasi estrus dan
intensitas estrus �dianalisis menggunakan
uji T yang dilakukan dengan bantuan software SPSS versi 25.
DAFTAR PUSTAKA
Adams, N.
R., Abordi, J. A., Briegel, J. R., & Sanders, M. R. (1994). Effect of diet
on the clearance of estradiol-17β in the ewe. Biology of Reproduction, 51(4),
668�674. https://doi.org/10.1095/biolreprod51.4.668
Dewi, A. A.
S. (2019). Gambaran Paritas Sapi
Potong Terhadap Performa Reproduksi Di Kelompok Ternak Yogyakarta. 2�4.
Djara,
Djeremias, Henderiana, Taga ;., Belli, L. L., Kune, Petrus, & Uly,
Kirenius. (2020). Pengaruh Waktu Penyuntikan Hormon PGF2α Setelah Berahi
Alam Terhadap Respons Estrus dan Angka Kebuntingan pada Sapi Bali (Effect of
PGF2α Hormone Injection Time After Natural Heat On Estrous Response and
Pregnancyrate Of Bali Cow). Jurnal
Peternakan Lahan Kering, Vol. 2, pp. 984�990.
Efendy,
Jauhari, & Firdaus, Frediansyah. (2021). Deskripsi dan fenomena yang
terjadi pada perkawinan alami sapi Peranakan Ongole (PO) dengan sapi Bali di
Kandang Percobaan Loka Penelitian Sapi Potong. Livestock and Animal Research, 19(1), 54. https://doi.org/10.20961/lar.v19i1.41835
Goff, Alan
K. (2004). Steroid hormone modulation of prostaglandin secretion in the
ruminant endometrium during the estrous cycle. Biology of Reproduction, 71(1),
11�16. https://doi.org/10.1095/biolreprod.103.025890
Handarini,
Ristika, Kurniawan, Sukurna, & Dihansih, Elis. (2017). RESPONS ESTRUS SAPI
RESIPIEN FH YANG DISINKRONISASI DENGAN HORMONE GnRH, ESROGEN, PROGESTERON DAN
PROSTAGLANDIN. Jurnal Pertanian,
8(1), 16. https://doi.org/10.30997/jp.v8i1.634
Handayani,
Ulvi Fitri, Hartono, Madi, & Siswanto. (1994). Respon Kecepatan Timbulnya
Estrus dan Lama Estrus pada Berbagai Paritas Sapi Bali Setelah Dua Kali
Pemberian Prostaglandin. Universitas
Lampung, pp. 33�40.
Haryani, R.
(2002). Akselarasi Pemunculan dan
Penyerentakan Estrus serta Keberhasilan Konsepsi Post-Partum Melalui Induksi
Hormon Progestron, PMSG, dan Kombinasinya pada Sapi Bali.
Ilham, F.,
Dako, S., Rachman, AB, & Hulubangga, Y. (2016). Onset Dan Lama Estrus Kambing
Kacang Yang Diinjeksi Prostaglandin F2Α Pada Submukosa Vulva. Seminar Nasional Peternakan 2, Fakultas
Peternakan Universitas Hasanuddin Makasar, 25 Agustus 2016., (August),
23�27.
Irmaylin,
S. M., Hartono, Madi, & Edy Santosa, Purnama. (2014). Respon Kecepatan
Timbulnya Estrus Dan Lama Estrus Pada Berbagai Paritas Sapi Pernakan Ongole
(PO) Setelah Dua Kali Penyuntikan Prostagladin F2α (PGF2α). Jurnal Ilmu Peternakan Terpadu, 2(1), 41�49.
Jannah,
Raihatul, Thasmi, Cut Nila, Hamdan, Hamdan, & Siregar, Tongku Nizwan.
(2020). Kinerja birahi pada sapi Aceh yang mengalami kawin berulang Estrous
performance of Aceh cattle with repeat breeding. Jurnal Ovozoa, 9(2),
48�52.
Juliantari,
Ni Komang Ade, Laksmi, Desak Nyoman Dewi Indira, & Bebas, Wayan. (2021).
Jarak Beranak Sapi Bali pada Kelompok-kelompok Ternak di Wilayah Kerja Pusat
Kesehatan Hewan Sobangan, Mengwi, Badung, Bali. Indonesia Medicus Veterinus, 10(5), 748�757. https://doi.org/10.19087/imv.2021.10.5.748
Kune, P.,
H.L.L. Belli, & W.M. Nalley. (2018). Respons
Estrus Hasil Sinkronisasi dengan Prostaglandin F2alfa (PGF2α) dan Angka
Kebuntingan serta Pola Estrus Alamiah Sapi Induk Bali.
Kune, p,
Najamudin. (2002). Respon Esturs sapi potong akibat pemberian
progesteron,protaglandin F2a dan estradiol benzoate dalam kegiatan sikronisasi
estrus. Jurnal Ilmiah Peternakan
Terpadu.
Kune,
Petrus dan Nurcholidah, & Solihati. (2007). Tampilan Berahi dan Tingkat
Kesuburan Sapi Bali Timor yang Diinseminasi ( The Performance of Estrus and
Fertility Rate of Timor Bali Cow Inseminated ). Jurnal Ilmu Ternak, Juni 2007, 7(1), 1�5.
Kune,
Petrus, Widyastuti, Rini, & Saili, Takdir. (2019). Tampilan Kesuburan Sapi
Bali Induk yang Dikawinkan Langsung dengan Pejantan dan Inseminasi Buatan
Ketika Estrus Hasil Sinkronisasi Menggunakan PGF2α. Jurnal Ilmu Dan Teknologi Peternakan Tropis,
6(2), 267.
https://doi.org/10.33772/jitro.v6i2.7142
Macmillan,
K. L. (1983). Prostaglandin responses in dairy herd breeding programmes. New Zealand Veterinary Journal, 31(7), 110�113. https://doi.org/10.1080/00480169.1983.34987
Mahaputra
& Restiadi. (1993). Progesteron
Selama Sinkronisasi Birahi dan Ovulasi Dalam Upaya Embrio Transfer Forum
Komunikasi Hasil Penelitian Bidang Peternakan. yogyakarta.
Moreira,
F., De La Sota, R. L., Diaz, T., & Thatcher, W. W. (2000). Effect of day of
the estrous cycle at the initiation of a timed artificial insemination protocol
on reproductive responses in dairy heifers. Journal of Animal Science, 78(6), 1568�1576. https://doi.org/10.2527/2000.7861568x
Nalbandov,
A. .. (1990). Fisiologi Reproduksi
Pada Mamalia Dan Unggas.
Panjaitan,
Budianto, Pambudi, Ridho, Amansyah, Romi, Akmal, Muslim, & Siregar, Tongku
Nizwan. (2020). Kadar Estrogen Darah dan Tingkat Keasaman (pH) Mukus Serviks
Sapi Aceh Memengaruhi Daya Penetrasi Spermatozoa. Jurnal Veteriner, 21(3),
485�492. https://doi.org/10.19087/jveteriner.2020.21.3.485
Parthodihardjo,
S. (1980). Ilmu Reproduksi Hewan.
Jakarta: Mutiara.
Prastowo Y.
(2015). Pengendalian Birahi Sapi
Betina Bibit dengan Prostaglandin.
Purwasih,
R., Setiatin, E. T., & Samsudewa, D. (2014). The effect of anredera
cordifolia (Ten.) steenis supplementation on uterine involution process
evaluated by oestrus post partum behavior and ferning. Journal of the Indonesian Tropical Animal Agriculture, 39(1), 17�22.
https://doi.org/10.14710/jitaa.39.1.17-22
Putri, Arni
Nadhirah, Suharyati, Sri, & Santosa, Purnama Edi. (2014). Pengaruh Paritas
Terhadap Persentase Estrus dan Kebuntingan Sapi Peranakan Ongole yang
Disinkronisasi menggunakan Prostaglandin F2α (PGF2α). Jurnal Ilmiah Peternakan Terpadu, 12(2), 31�36.
putri,
Sari. (2017). PERFORMANS POPULASI INTI
INDUK BIBIT SAPI BALI YANG MEMPUNYAI KINERJA PRIMA PADA PETERNAKAN RAKYAT DI
KABUPATEN BARRU.
Ramli,
Mauridatun, Siregar, Tongku Nizwan, Thasmi, Cut Nila, Dasrul, Wahyuni, Sri,
& Sayuti, Arman. (2016). Hubungan Antara Intensitas Estrus Dengan
Konsentrasi Estradiol Pada Sapi Aceh Pada Saat Inseminasi. Jurnal Medika Veterinaria, 10(1), 27�30.
RowenD Frandson,
w.lee. Wilke, Anna Dee Fails. (2003). Anatomy
and Physiology Farm Animals.
Sari,
Bahagia. (2022). Pengaruh Pemberian
PGF2α Dari Sumber Berbeda (Capriglandin Dan Lutalyse) Terhadap Respons
Estrus, Service Perconception, Conception Rate Dan Morfometrik Ovarium Pada
Sapi Simmental Di BPTUHPT Padang Mengatas. Universitas Andalas.
Setiadi.
(1996). Pengaruh Dosis Prostaglandin
F2α Analog terhadap Respon Birahi dan Hasil Inseminasinya pada Sapi Perah
Friesian Holstein.
SUDARMAJI,
SUDARMAJI, MALIK, A. B. D., & GUNAWAN, A. A. M. (2007). Pengaruh
penyuntikan prostaglandin terhadap persentase birahi dan angka kebuntingan sapi
Bali dan PO di Kalimantan Selatan. Majalah
Ilmiah Peternakan, 10(1),
164346.
Supriyanto,
& Martinin, Neli. (2015). Seminar Nasional: Sekolah Tiggi Penyusunan
Pertanian (STPP) Magelang | 561. Seminar
Nasional: Sekolah Tiggi Penyusunan Pertanian (STPP) Magelang, 1, 561�568.
Suzana, R.,
Udin, Z., & Hendri, Hendri. (2020). Penggunaan Metode Sinkronisasi Estrus
terhadap Respon Estrus pada Kerbau Rawa (b. Bubalis carabauesis) di Kabupaten
Padang Pariaman. Jurnal Peternakan
Indonesia (Indonesian Journal of Animal Science), 22(2), 176.
https://doi.org/10.25077/jpi.22.2.176-183.2020
Syafruddin,
tongku nizwan siregar, herrialfian, t. armansyah. (2010). Efektivitas Pemberian
Ekstrak Vesikula Seminalis. Efektivitas
Pemberian Ekstrak Vesikula Seminalis Terhadap Persentase Berahi Dan Kebuntingan
Pada Kambing Lokal, 4(3),
53�60.
Tagama T.R.
(1955). Pengaruh Hormon Estrogen Dan Progesteron Dan prostaglandin F2a terhadap
aktivitas berahi sapi PO dara. Jurnal
Ilmiah Peternakan Terpadu.
Talib,
Chalid. (2002). Sapi Bali di Daerah Sumber Bibit dan Peluang Pengembangannya. Wartazoa, 12(3), 100�107.
Toelihere
MR. (1985). Fisiologi Reproduksi Pada
Ternak. Bandung: penerbit angkasa bandung.
Tomaszewska
M, W. (1991). Reproduksi Tingkah Laku
dan Produksi Ternak di Indonesia. Jakart: Gramedia Pustaka Jakarta.
Tongku
Nizwan Siregar. (2001). Tampilan Reproduksi Kambing Lokal Yang Mengalami
Sikronisasi Berahi Dengan Prostaglandin F2-Alfa Dan Kehadiran Pejantan. Scientific Journal Ecompassing All Areas of
Animals Science.
U,
Hafizuddin, Siregar, Tongku Nizwan, Akmal, Muslim, Melia, Juli, Rizal, Husnur,
& Armansyah, Teuku. (2012). Perbandingan Intensitas Berahi Sapi Aceh Yang
Disinkronisasi Dengan Prostaglandin F2 Alfa Dan Berahi Alami. Jurnal Kedokteran Hewan - Indonesian Journal
of Veterinary Sciences, 6(2),
81�83. https://doi.org/10.21157/j.ked.hewan.v6i2.296
Wildeus, S.
(2000). Current concepts in synchronization of estrus: Sheep and goats. Journal of Animal Science, 77(E-Suppl), 1.
https://doi.org/10.2527/jas2000.00218812007700es0040x
wurlina.
(2005). Pengaruh Berbagai dosis prostaglandin F2 Alfa terhadap kualitas estrus
pada kambing lokal. Media Kedokteran
Hewan.
Yusuf &
toelihere 1990. (1990). Pengaruh musim
terhadap kesuburan ternak sapi bali di Besipae.