HASIL DAN PEMBAHASAN
Thrift shop adalah sebuah bisnis yang saat ini sedang naik daun dan sedang banyak diminati
serta dapat dengan mudah temukan di Instagram, Twitter, Facebook, dan marketplace. Bisnis ini
termasuk bisnis dengan modal yang minim tapi dapat memberikan keuntungan besar. Untung
tersebut didorong oleh banyaknya minat anak muda jaman sekarang untuk membeli barang dari
thrift shop. Barang yang dijual ataupun dibeli sangatlah beragam mulai dari baju sampai barang
antik. Trend untuk membeli barang bekas muncul sebagai alternatif untuk membeli barang
bermerk dengan harga yang cukup terjangkau. Selain itu, berbelanja di thrift shop bisa menghemat
pengeluaran.
Pemasaran merupakan salah satu proses bisnis yang ada pada setiap perusahaan yang
berskala kecil sampai besar (Muhammad, 2022), tak terkecuali dalam bisnis Nara’s thrift shop.
Strategi pemasaran yang dilakukan ialah menawarkan produk kepada target pasar yang sudah
ditentukan yaitu mahasiswa, pelajar dan buruh lepas yang masih berusia muda.
Produk yang ditawarkan berupa celana import seperti jeans, denim, tartan, cargo dan
corduroy pria maupun wanita yang bersal dari Negara Korea. Barang tersebut didapat dari
supplier dengan harga murah tergantung kondisi barang dan kualitasnya. Barang ber-merk sudah
pasti harganya mahal jika dibeli di toko resmi. Tapi, lain kondisinya kalau barang ber-merk
tersebut tidak memenuhi standar mutu sehingga dijual ke supplier pakaian bekas. Jika di toko
resmi nya dijual dengan harga diatas Rp 200.000,00- lain hal nya dengan supplier pakaian bekas
yang bisa menjual dengan harga dibawah Rp 50.000,00- hanya karena produk ber-merk tersebut
tidak memenuhi standar kualitas atau cacat. Dengan keuntung seperti ini menjadi alasan mengapa
usah thrift shop ini dipilih karena dianggap menjadi sebuah bisnis yang menguntungkan.
Dalam jurnal (Ghilmansyah, 2022, pp. 1-16) dijelaskan bahwa awal mulanya thrifting
dilakukan saat Revolusi Industri di abad ke-19, memperkenalkan produksi massal pakaian dan
mengubah cara pandang masyarakat terhadap dunia fashion saat itu. Saat itu pakaian sangat
murah, dan orang mengira pakaian itu sekali pakai (disposible). Hal ini menyebabkan
menumpuknya produk yang dibuang, sehingga manusia menjadi sangat konsumtif (Hatta,
2021). Barang-barang bekas ini umumnya digunakan oleh para pendatang. Setelah itu, pada tahun
selanjutnya, Salvation Army mengumpulkan barang-barang yang tidak terpakai sebagai
sumbangan. Mereka mendirikan tempat yang disebut "Salvage Bridge" pada tahun 1897, padasaat
ituorang-orang merasa dapat menyumbangkan pakaian tambahan atau barang-barang lainnya ke
tempat Salvage Bridge. Kemudian, selama Great Depressionpada tahun 1920-an, mengalami
krisis skala penuh terjadi di Amerika Serikat. Banyak orang yang menganggur lalu kehancuran di
pasar saham New York menjadi "gong" saat itu. Orang-orang pada saat itu bahkan tidak memiliki
kemampuan untuk membeli pakaian baru, jadi mereka memilih alternatif untuk membeli dari
toko barang bekas. Sedangkan untuk orang kaya, tempat ini digunakan untuk berdonasi. Akhirnya
tahun-tahun selanjutnya menjadi sebuah kerutinan pada masyarakat saat itu yang menjadi trend
hingga saat ini. Kebiasaan menggunakan baju bekas kembali menjadi trend yang kini kita sebut
thrifting (Gafara, 2019).
Nadia Rameka, seorang mahasiswi semester 6 kampus Universitas Teknologi Digital
memiliki toko thrifting di daerah cimahi tepatnya di daerah Cimahi Utara. Toko ini didirikan sejak
tahun 2020 dan masih berdiri sampai tulisan ini diterbitkan. Jika dilihat dari perkembangan nya,
dibanding saat pertama kali membuka bisnis ini, sekarang lebih banyak variasi produk yang
ditawarkan karena semakin meningkatnya permintaan pembeli.
Menurut Nadia, menjual baju thrift atau produk fashion thrift lainnya mengharuskan untuk
mempunyai supplier tetap. Supplier atau pemasok produk sangat diperlukan agar bisa
mendapatkan produk dengan kualitas terbaik dan harganya terjangkau. Supplier merupakan salah
satu bagian Supply Chain Management yang tak terpisahkan dan sangat mempengaruhi
kelangsungan operasional suatu perusahaan, dan pemilihan Supplier dengan yang tepat dapat
mengurangi biaya pembelian (M. Auddie and D. Mahdiana, 2019).
Salah satu faktor penting apabila memutuskan untuk berbisnis barang thrift adalah